Kisah Mistis Kabut Gelap dan Murka Nyai Sudem di Lereng Gunung Slamet

Mendadak, kabut gelap mendekat kala rangkaian acara Grebeg Suran Curug Cipendok, di lereng Gunung Slamet, dimulai

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 10 Jul 2020, 02:25 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2020, 00:30 WIB
Kabut Hitam
Alam sekitar Curug Cipendok tak lagi perawan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Banyumas - Kisah beraroma mistis ini sebenarnya terjadi tiga tahun lampau, tepatnya 7 Oktober 2017, tepat Sabtu Kliwon. Kala masyarakat di sekitar Curug Cipendok, yang berada di lereng Gunung Slamet, menggelar ritual Grebeg Sura yang tak biasa.

Grebeg Sura tak biasa lantaran air Curug Cipendok keruh, tak seperti biasanya bening bak kaca. Waktu itu, Grebeg Sura benar-benar Suram.

Cerita ini masih relevan hingga saat ini, lantaran Curug Cipendok terkadang juga masih keruh saat terjadi hujan lebat di wilayah hulu. Pangkal jelas, eksplorasi dalam pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di lereng Gunung Slamet.

Larung sesaji yang didahului prosesi teatrikal "Wuru Banyu Butek" dan ritual "Caos Atur Ganda Wangi" itu berlangsung muram. Tebersit duka mendalam kuncen dan warga yang mengikuti prosesi ini.

Musababnya, Curug Cipendok tak lagi suci. Curug Cipendok telah direnggut keperawanannya. Air yang selama ribuan tahun mengalir jernih, kini keruh.

Benar-benar keruh sehingga lumpurnya mengotori batu dan tetumbuhan. Percikan air dan kabut air terjun setinggi 93 meter itu tak lagi melukiskan pelangi layaknya waktu yang sudah-sudah.

Mendadak, kabut gelap mendekat kala rangkaian acara Grebeg Suran Curug Cipendok, di lereng Gunung Slamet, dimulai. Kabut-kabut itu bergelayut di pohon-pohon pakis dan mahoni yang bertumbuhan di kawasan Curug Cipendok.

Perjalanan larung sesaji itu mesti melewati jalan bebatuan sepanjang 700-an meter. Dari jarak ratusan meter, angin kuat yang dihasilkan ribuan kubik air terjun itu terasa menghantam tubuh. Seolah, ini adalah murka Nyi Sudem, penunggu Curug Cipendok.

"Dari tadi tidak kabut. Tiba-tiba ada kabut. Pertanda apa ini? Itu yang harus dicari jawabnya," ujar Titut Edi Purwanto, seniman Banyumas yang tinggal di kawasan lereng Gunung Slamet, kala itu.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Pelangi Malam Hari di Lereng Gunung Slamet

Curug Cipendok tak terlihat lagi keindahannya. Air keruh menyebabkan curug raksasa ini layaknya sarang hantu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Curug Cipendok tak terlihat lagi keindahannya. Air keruh menyebabkan curug raksasa ini layaknya sarang hantu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Nyai Sudem, yang bernama kehormatan Dewi Intan, merujuk pada curug berair bening laksana jutaan permata itu, tentu bersedih. Air yang bisanya bisa untuk berkaca, tiba-tiba buram. Lumpur menyebabkan mata air Curug Cipendok pekat.

Titut mengisahkan, dampak eksplorasi pada proyek PLTP di Gunung Slamet itu membuat Dewi Intan sempat mengungsi. Ia pun meniti pelangi ke Taman Kuwung, sebelah barat daya Curug Cipendok.

Jaraknya lebih dari lima kilometer. Di tempat itu, Dewi Intan meratapi nasibnya.

"Dewi Intan menangis karena alam dirusak. Kebayanya belepotan oleh lumpur," ujar Titut, di kesempatan terpisah, menceritakan penglihatan mata batinnya.

Tangisan Dewi Intan atau Nyi Sudem itu adalah pertanda bahwa dampak PLTP tak hanya dirasakan manusia. Bahkan, makhluk-makhluk tak kasatmata pun terdampak, dengan caranya.

"Pengunjung di Karang Panginyongan sering melihat ada pelangi di malam hari," ujar pengelola Taman Karang Panginyongan itu.

Ia mengatakan pelangi itu ujungnya berada di Curug Cipendok dan berakhir di Taman Kuwung. Dari penglihatan batinnya, ia melihat peri penjaga curug mengungsi ke Taman Kuwung.

 

Ritual Banyu Suci Handayani di Kaki Gunung Slamet

Ritual Gunung Slamet
Ritual Banyu Suci Handayani di kaki Gunung Slamet (Liputan6.com / Aris Andrianto)

"Ia menangis sedih. Tempatnya kini sudah tak nyaman lagi untuk ditinggali. Nyi Sudem sedang mengungsi," kata dia.

Tangisan Nyi Sudem merupakan perlambang tangisan alam yang kini sedang dirusak. Pembabatan hutan dan pengeprasan bukit membuat air tak lagi bening.

Titut pun menggelar ritual Banyu Suci Handayani, dalam kesempatan terpisah, Maret 2017. Ia membawa cermin dan bubur merah dan putih. Bubur merah merupakan perlambang suara bumi, sedangkan bubur putih merupakan perlambang suara langit.

"Pada masa lampau sebelum ada cermin, manusia bercermin dengan menggunakan air. Air menjadi cerminan perilaku baik dan buruknya manusia, jika air sudah menjadi keruh, maka manusia sudah tidak bisa becermin lagi," ucap Titut.

Ritual dilakukan di mata air Tuk Siluman di sisi barat Curug Cipendok. Tuk atau mata air Siluman tersebut banyak digunakan oleh politikus Senayan sebelum berlaga dalam pemilihan umum.

Menurut Titut, keruhnya air sungai belasan desa di Banyumas mencerminkan ketamakan manusia dalam memanfaatkan alamnya.

"Air sungai yang keruh mencerminkan sifat tamak manusia yang tidak bisa menjaga mandat Tuhan untuk menjaga alam," ujar dia.

Menanggapi proyek pembangunan PLTP di Gunung Slamet yang masih akan terus berlanjut, Titut mengajak masyarakat untuk mempertimbangkannya.

"Semua orang butuh listrik, semua orang butuh air, tapi kita harus mempertimbangkan lebih penting mana air atau listrik untuk kehidupan kita?" Titut mengungkapkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya