Potret Toleransi Iduladha di Kalikudi, Kejawen Serahkan Hewan Kurban ke Masjid

Sejak awal penyebaran Agama Islam di Kalikudi, warga sudah terlatih toleransi, untuk saling menghormati dan menghargai antarsesama

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 03 Agu 2020, 16:00 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2020, 16:00 WIB
Ritual Muji Kamis Wage malam Jumat Kliwon di Pasemuan Lor, Desa Kalikudi, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ritual Muji Kamis Wage malam Jumat Kliwon di Pasemuan Lor, Desa Kalikudi, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Ada toleransi Iduladha di Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang barangkali, sukar dicari di tempat lainnya. Kalikudi, sejak lama memang dikenal sebagai potret Indonesia mini dengan segala ragamnya.

Di desa pesisir Cilacap ini, pelestari adat dan penganut Kejawen yang tergabung dalam Paguyuban Adat Tradisi Anak Putu (ATAP) Kalikudi, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap tak menggelar ritual apapun dalam rangkaian Iduladha 1441 Hijriyah ini.

Mereka menitipkan hewan kurban kepada kepanitiaan di masjid-masjid yang ada di sekitarnya. Dan itu adalah sebentuk toleransi. Anak putu adalah sebutan akrab dan turun temurun untuk para pelestari adat ini. 

"Kalau dalam bahasa saya, inklusif," kata Tetua Anak Putu Kalikudi, Kunthang Sunardi, Minggu sore (2/8/2020), hari kedua Tasyrik.

Dia mengatakan sejak ratusan tahun lalu, anak putu memang tidak menggelar ritual adat dalam Iduladha. Tradisi Iduladha selalu dilakukan oleh kepanitiaan masjid, yang secara spesifik dilakukan oleh golongan anak putu nyantri.

Sebagian anak putu Kalikudi adalah anak putu nyandi atau yang memegang erat adat dan tradisi Kejawen. Sedangkan lainnya adalah anak putu nyantri, atau yang ritual keagamaannya tak berbeda dengan umat Islam lainnya.

“Iduladha itu di sini tidak ada acara apapun. Dulu itu kan ada keturunan Setro Wedono, yang khusus mengurus seperti ini (kurban Iduladha). Berarti kalau mau ada anak putu yang berkurban dititipkan ke masjid,” ucapnya.

Sejak awal penyebaran Agama Islam di Kalikudi, warga sudah terlatih toleransi, untuk saling menghormati dan menghargai antarsesama. Sebab, keturunan Setro Wedono dan Ditakerta bersaudara, meski berbeda ritual keagamaan.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Penyebaran Agama Islam di Kalikudi

Ritual Punggahan jelang Puasa atau Ramadan di Panembahan Banokeling, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ritual Punggahan jelang Puasa atau Ramadan di Panembahan Banokeling, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Meski tak menggelar ritual apapun dalam perayaan Iduladha ini, anak putu tetap akan melakukan ritual Muji Kamis Wage Jumat Kliwon, pada Kamis malam mendatang (6/8/2020). Ritual Muji Kamis Wage Jumat Kliwon juga sudah dilakukan sejak ratusan tahun lampau di Pasemuan atau tempat ibadah.

“Kalau anak putu adat itu tidak ada acara apapun. Nah, besok itu ada acara Kamis Wage Jumat Kliwon. Acara biasa, di bulan Besar (Dzulhijah),” ujarnya.

Menilik sejarah, Desa Kalikudi dibuka oleh Kiai Ditakerta dan dipercaya sebagai leluhur anak putu. Kiai Ditakerta ini lah yang babat alas atau membuka kampung untuk kali pertama.

Setelah perkampungan terbentuk, beberapa tahun kemudian, Kiai Setro Wedono menyusul ke Kalikudi. Dia lah yang mula-mula menyebarkan agama Islam di wilayah ini.

Secara turun temurun, keturunan Setro Wedono ini lah yang disebut anak putu nyantri. Adapun keturunan yang masih berpegang kepada adat dan tradisi disebut sebagai anak putu nyandi.

“Setro Wedono itu menyusul, seperti mencari saudaranya. Kemudian menyebarkan Islam,” ucap Kunthang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya