Mambantai 'Kabau Nan Gadang', Tradisi Tolak Bala di Simancuang Sebelum Turun ke Sawah

Ada tradisi unik di Simancuang sebelum petani kembali turun ke sawah, yakni 'membantai kabau nan gadang'.

oleh Novia Harlina diperbarui 15 Okt 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2021, 10:00 WIB
Makan basamo usai 'mambantai kabau nan gadang di Simancuang'. (Liputan6.com/ Novia Harlina)
Makan basamo usai 'mambantai kabau nan gadang di Simancuang'. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Solok Selatan - Asap mengepul dari belakang sebuah masjid di Jorong Simancuang, aromanya wangi, berasal dari kancah-kancah besar yang tak henti-henti diaduk oleh kaum ibu.

Kancah-kancah itu berisi daging kerbau yang sudah menjadi randang, di kancah lain juga ada kalio daging, cukup untuk membuat perut keroncongan.

Sementara di sekitaran masjid yang terletak di tengah sawah tersebut, masyarakat berkumpul. Hari itu, hari yang penting untuk masyarakat Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Daging yang dirandang itu, merupakan hasil dari mambantai kabau nan gadang. Sebuah tradisi turun temurun di Simancuang.

Prosesi dilakukan sedari pagi, mulai dari mambantai kabau hingga mengolahnya menjadi beberapa masakan. Ba'da Zuhur, randang dan kalio serta nasi putih telah selesai dimasak.

Ratusan masyarakat berkumpul di masjid untuk santap bersama. Rendang dan kalio disajikan dengan nasi putih. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak suka cita menikmati, tak ada yang tidak kebagian.

Kepala Jorong Simancuang, Eka Rani Putra mengatakan tradisi mambantai kabau nan gadang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat sejak dahulu.

"Ini adalah wujud syukur, sekaligus sebagai tanda akan dimulainya masa tanam," katanya kepada Liputan6.com, 22 September 2021.

Mambantai kabau nan gadang, menurut Eka juga merupakan tolak bala, agar masyarakat yang bertani dihindarkan dari hal-hal yang tak diinginkan dan kemudian hasil panen juga bagus.

Ia menyebut, mambantai kabau nan gadang juga menjadi tanda bagi masyarakat untuk bersama-sama memulai bercocok tanam.

"Samo-samo turun ka sawah, samo-samo pulo panennyo (Waktu tanamnya sama, nanti panenya juga sama," kata kepala jorong.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Tradisi Turun Menurun

Masjid di Simancuang yang dijadikan tempat makan bersama usai membantai kerbau. (Liputan6.com/ Novia Harlina)
Masjid di Simancuang yang dijadikan tempat makan bersama usai membantai kerbau. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Tradisi Mambantai Kabau Nan Gadang ini biasanya dilakukan dua kali dalam setahun, beriringan dengan masa mulai menanam padi.

Di Simancuang, mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani, bahkan sebuah sebutan sudah melekat untuk jorong yang dikelilingi perbukitan itu.

"Bali samba jo bareh, buek rumah jo bareh, apo-apo jo bareh sadonyo, yo nagari awak ko sabana nagari cap padi, (beli lauk dengan beras, bikin rumah dengan beras, apa-apa semuanya dengan beras, desa kita ini desa cap beras," begitu sebutan untuk Simancuang.

Untuk penyelenggaraan Mambantai Kabau Nan Gadang, setiap keluarga di Simancuang beriuran untuk membeli satu ekor kerbau. Iuran berupa beras sebanyak satu 'sukek' yang setara dengan 1,6 kilogram beras senilai Rp100 ribu.

"Iuran dikumpulkan oleh pengurus masjid yang sekaligus panitia acara," kata Eka.

Eka menjelaskan, semua petani di Simancuang sejak lama sudah sepakat untuk tanam padi serentak, bertujuan untuk pengendalian hama dan penyakit.

"Kalau ada yang melanggar, maka akan ada pula hukum adat yang menanti," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya