Gaung Gong dan Mantra Tolak Bala dari Yogyakarta

Minggu, 5 April 2020, pukul 06.00 WIB gaung gong membelah kesunyian Kota Yogyakarta.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Apr 2020, 03:00 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2020, 03:00 WIB
Gaung Gong dan Mantra Tolak Bala Yogyakarta
Gaung Gong menjadi cara masyarakat Yogyakarta merespons social distancing (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Minggu, 5 April 2020, pukul 06.00 WIB gaung gong membelah kesunyian Yogyakarta. Gong dipukul tepat di pusat kota, yakni di Titik Nol Kilometer.

Gaung gong tidak hanya terdengar dari satu titik, melainkan dari seluruh penjuru mata angin di Yogyakarta. Gong dibunyikan secara bersamaan selama lima kali sebagai penanda awal kelahiran dan kehidupan jiwa yang kembali mengenali jati diri. Tujuannya, membangkitkan kesadaran sejati.

Memilih membunyikan gong lima kali secara bersamaan dari empat penjuru mata angin melambangkan sedulur papat limo pancer dalam filosofi Jawa. Artinya, empat saudara dan lima sebagai pusatnya. Filosofi ini menyiratkan Tuhan menciptakan saudara-saudara itu untuk membantu manusia.

Gong kembali bergaung pada hari yang sama pukul 18.00 WIB. Gong ditabuh sebanyak 10 kali dari tempat yang sama. Jam pergantian siang dan malam itu dipilih sebagai waktu potensial untuk penyelarasan energi dalam diri dengan semesta.

Perhelatan yang diberi nama serupa, yakni Gaung Gong, menjadi respons masyarakat gamelan atas situasi sosial terkini.

"Secara budaya, masyarakat kita adalah masyarakat yang guyub, sosial, dan ramah. Kondisi yang mengharuskan ada jarak di antara mereka menimbulkan ketegangan atau syok yang luar biasa," ujar Ari Wulu, inisiator Gaung Gong dari Komunitas Gayam16.

Ia menuturkan, gamelan lazimnya dibunyikan bersama-sama tanpa patokan yang kaku, sehingga di setiap ketukan akhir gending tidak pernah ada keserentakan nada dalam gamelan.

Dalam gamelan, semua berhenti sesuai dengan hasrat masing-masing. Hal ini yang membedakan dengan musik barat yang patuh terhadap ketukan.

Gong sebagai bagian dari gamelan berbunyi untuk mengawali dan sebagai tanda akhir. Gong tidak dimainkan sesering instrumen lainnya. Namun, orang yang menabuh gong sudah pasti mendengarkan alunan gending dari awal sampai akhir. Ini bisa dianalogikan seperti semesta yang memperhatikan manusia dan alam.

Gong juga menjadi simbol bunyi semesta yang membawa kesadaran dan menenangkan. Vibrasi gong juga menggetarkan tubuh manusia. Gong menjadi penanda kesadaran manusia bersatu dengan alam.

"Menyikapi situasi terkini kami berpikir untuk menjadikan gong sebagai pilihan dalam Gaung Gong karena gong bisa dimainkan oleh satu orang saja," ucapnya.

Ari menuturkan ide Gaung Gong berasal dari obrolannya bersama dengan Santi Ariestyowanti perihal frekuensi bunyi-bunyian dapat memengaruhi manusia. Ide ini pun dibagikan kepada seniman dan budayawan di Yogyakarta, seperti Romo Banar, I Ketut Sandika, Ki Kisno, Bambang Paningron, Ki Catur Kuncoro, Pardiman Jayanegara, Azied Dewa, Anon Suneko, Paksi Raras, dan kawan lainnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Mantra Tolak Bala

Gaung Gong dan Mantra Tolak Bala Yogyakarta
mantra petang

Selain menabuh gong dalam dua kurun waktu yang berbeda, ada pula pembacaan mantra tolak bala di sela-sela Gaung Gong. Mantra ini menjadi doa di tengah situasi seperti sekarang.

Dalam Gaung Gong pagi hari dibacakan mantra Carakan Walik atau Aksara Jawa yang dibalik.

Tidak hanya dibalik ejaannya, melainkan juga dibalik urutannya. Biasanya dimulai dari hanacaraka, datawasala, padhajayanya, dan magabathanga. Saat Gaung Gong mantra ini berbunyi ngathabagama yang berarti tidak ada kematian, nyayajadhapa berarti tidak ada kesaktian, lawasatada yang berarti tidak ada peperangan, dan karacahana mengandung makna tidak ada utusan.

Sedangkan mantra yang dibacakan pada petang hari berupa Kalacakra. Mantra ini berbunyi,

YAMARAJA-JARAMAYA 

siapa yang menyerang-berbalik menjadi berbelas kasihan

YAMARANI-NIRAMAYA 

siapa yang datang dengan niat buruk-akan berbalik dan menjauhi

YASILAPA-PALASIYA     

siapa yang membuat kelaparan-berbalik memberi makan

YAMIRODA–DAROMIYA

siapa yang memaksa-berbalik memberi kebebasan dan keleluasaan

YAMIDOSA-SADOMIYA  

siapa yang berbuat dosa-berbalik berbuat kebajikan

YADAYUDA-DAYUDAYA

siapa yang memerangi-berbalik memberi damai

YASIYACA-CAYASIYA    

siapa yang menyengsarakan-berbalik membawa damai

YASIHAMA-MAHASIYA  

siapa yang berbuat merusak-berbalik sayang dan memelihara

"Sebenarnya mantra-mantra itu di sini adalah untuk membangkitkan kesadaran bahwa hal utama yang harus dirawat adalah hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan untuk selalu berpikir positif," ujar Santi, inisator Gaung Gong.

Ia menilai, perkataan positif akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan secara holistik. Semakin banyak yang menjaga kondisi secara holistik, maka akan semakin bagus kondisi lingkungannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya