Berkaca dari Kasus Perkosaan Santri, Pengawasan Orangtua Harus Ditingkatkan

Dokter Spesialis Kejiwaan RS Melinda 2 Bandung Teddy Hidayat mengatakan, kekerasan seksual pada anak banyak terjadi di masyarakat. Namun, tersembunyi seperti gunung es.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 13 Des 2021, 11:02 WIB
Diterbitkan 13 Des 2021, 11:00 WIB
Ilustrasi Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Bandung - Dokter Spesialis Kejiwaan RS Melinda 2 Bandung Teddy Hidayat mengatakan, kekerasan seksual pada anak banyak terjadi di masyarakat. Namun, tersembunyi seperti gunung es.

"Bila ada satu kasus yang dilaporkan, sebenarnya masih ada sembilan kasus lain yang tidak terlaporkan. Kekerasan seksual pada anak seringkali tidak segera terungkap," kata Teddy melalui keterangan tertulis, Senin (13/12/2021).

Teddy menanggapi pelaku kasus pencabulan yang dilakukan pimpinan yayasan pesantren di Kota Bandung, Herry Wirawan (36) yang memperkosa santriwatinya sampai melahirkan 8 bayi telah terjadi dalam rentang waktu 2016 dan baru terbongkar 2021. Menurutnya, ini terjadi karena tidak adanya pengawasan terhadap anak dari orangtua dan lingkungannya.

Serta, tidak adanya pengawasan terhadap lembaga tersebut dari instansi yang berwenang atau yang seharusnya mengawasi.

"Semua pihak yang senantiasa berdampingan dengan anak seperti orangtua, pengasuh, guru, dan lingkungan sekolah harus mengenal dan mampu mendeteksi kekerasan seksual pada anak. Sebab, seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami dampak fisik, psikis, sosial yang berkepanjangan," katanya.

Teddy mengatakan, stimulasi seksual dan perkosaan adalah faktor predisposisi terhadap gangguan psikiatrik di kemudian hari, seperti fobia, cemas, tidak berdaya, depresi (rasa malu, bersalah, citra diri buruk, perasaan telah mengalami cedera permanen), pengendalian impuls, merusak bahkan terjadi bunuh diri.

Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi akibat kekerasan seksual yaitu, kesulitan mempercayai orang lain, cenderung akan menolak hubungan seksual dengan lawan jenis dan lebih memilih hubungan seksual sesama jenis.

"Korban pada kasus ini adalah kanak-kanak artinya masih mudah dipengaruhi. Pelaku melakukan upaya intimidasi dan sugesti (ditanamkan dan dipengaruhi; dibisikkan ke telinga korban “murid harus taat pada guru”), dilakukan terus-menerus, korban hidup di lingkungan tertutup atau terisolir selama bertahun-tahun," tutur Teddy.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini

Mengenal Stocklom Syndrome

pencabulan
Ilustrasi pencabulan.

Menurut dia, kondisi ini akan memengaruhi perkembangan kepribadian dan pemikiran korban ke arah patologis. Salah satunya disebut stockholm syndrome, yaitu gangguan psikiatrik pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul kasih sayang terhadap pelaku.

Selain itu, intervensi terhadap korban kekerasan seksual pada anak dilakukan pada pihak-pihak yang berhubungan dengan anak. Kondisi fisik termasuk penyakit menular seksual dan HIV dan gangguan jiwa harus dilakukan penatalaksanaan.

"Intervensi psikis tidak hanya dilakukan sekitar peristiwa itu terjadi, tetapi diperlukan pendampingan sepanjang hidupnya meliputi mengembangkan strategi koping, terapi perilaku, psikoterapi, latihan keterampilan sosial dalam lingkungan yang aman," kata Teddy.

Selain itu, bayi-bayi yang tidak berdosa yang terlahir akibat kekerasan seksual ini juga harus diselamatkan oleh keluarga, karena keluarga merupakan inti perlindungan pada anak korban harus tetap mendapatkan haknya untuk sekolah.

"Guru dapat bekerja sama dalam tim lintas profesi mulai dari upaya pencegahan penyembuhan dan rehabilitatif dalam hal kekerasan seksual pada anak melalui pembelajaran," ujar Teddy.

Pelaku Kekerasan Seksual Anak Biasanya Dikenal Korban

Ilustrasi Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan

Tak hanya itu, pelaku kekerasan seksual umumnya dilakukan orang dewasa yang dikenal oleh korban. Biasanya, anggota keluarga yang dipercaya, pengasuh, atau guru baik di sekolah formal maupun pesantren.

Teddy menjelaskan, pada diri pelaku tersebut terdapat psikopatologi di mana yang bersangkutan mengalami gangguan penilaian atau judgement yaitu tidak mampu membedakan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral.

"Semua aturan, disiplin dan norma yang berlaku dilanggar untuk memuaskan dorongan id atau nafsunya. Super ego atau hati nuraninya dikuasai oleh id atau nafsunya. Pada pelaku ditemukan superego lacunae yang karakteristik untuk psikopat," kata Teddy.

Meski demikian, Teddy menyebutkan seseorang dengan psikopat dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dapat dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum yaitu di pengadilan anak yang dilakukan secara tertutup.

"Catatan penting untuk pengadilan yaitu pada psikopat sulit belajar dari pengalaman dan tidak ada rasa bersalah. Sehingga cenderung akan mengulangi perbuatannya," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya