Liputan6.com, Bandung - Bangsa Indonesia terdiri atas beragam kebudayaan dan perbedaan, salah satunya sistem kepercayaan dan agama. Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah di Indonesia, antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai negara demokratis, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bahkan menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Indonesia juga sangat menjamin kebebasan beragama di mana setiap penduduknya berhak memilih dan menjalankan keyakinannya masing-masing.
Keyakinan tersebut harus berdasarkan kepada Tuhan yang Maha Esa di mana hal ini sesuai sila Pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Masyarakat diharapkan dapat hidup berdampingan secara damai di tengah-tengah perbedaan keyakinan ini dan tidak memaksakan kepercayaan atau menganggu keyakinan orang lain.
Selain enam agama yang diakui negara, pemerintah juga menetapkan adanya aliran kepercayaan. Ada banyak aliran kepercayaan lokal yang ada di Indonesia. Berdasarkan catatan Kemendikbud pada 2017 lalu, total ada 187 kelompok aliran kepercayaan di Indonesia.
Melansir dataindonesia.id, jumlah penduduk yang menganut aliran kepercayaan di Indonesia sebanyak 126.515 jiwa hingga 31 Desember 2021. Dari jumlah itu, sebanyak 35.229 penduduk yang menganut aliran kepercayaan berada di Nusa Tenggara Timur.
Tentunya, berbagai aliran kepercayaan ini sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum masuknya agama besar seperti Islam dan Kristen. Kepercayaan lokal ini telah menyatu dengan penduduk dan susah dilepaskan.
Berikut Liputan6.com rangkum enam aliran kepercayaan di Indonesia dari berbagai sumber. Selamat menyimak.
Kejawen
Bila pernah menonton film pendek berjudul KTP (2017), tentu akan ingat salah satu tokoh dalam film tersebut yakni Mbah Karsono. Saat ditanya agama, Mbah Karsono menjawab Kejawen.
Sebagaimana dilansir indonesia.go.id, Kejawen merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf dari Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.
Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa.
Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa, kepercayaan asli yang dianut masyarakat Jawa adalah animisme dan dinamisme, atau perdukunan.
Orang-orang Jawa yang percaya dengan Kejawen relatif taat dengan agamanya. Di mana, mereka tetap melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan dari agamanya. Caranya, dengan menjaga diri sebagai orang pribumi. Pada dasarnya, ajaran filsafat Kejawen memang mendorong manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya.
Sejak dahulu kala, orang Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan. Itulah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal dengan ‘Sangkan Paraning Dumadhi’, atau memiliki arti ‘dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan’.
Aliran filsafat kejawen biasanya berkembang seiring dengan agama yang dianut pengikutnya. Sehingga kemudian dikenal terminologi Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing aliran itu akan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan dengan agama yang dipeluknya.
Advertisement
Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan merupakan sistem nilai ajaran kebudayaan yang hidup di tanah Sunda yang ada di Jawa Barat sejak Sunda dihuni oleh manusia. Bahkan sebelum Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia, ajaran Sunda Wiwitan sudah ada dan berkembang dalam masyarakat.
Masyarakat Sunda Wiwitan juga memahami bahwa alam semesta ini hanyalah sebuah titipan dari yang maha kuasa, jadi setiap manusia itu tidak boleh terlalu eksploitatif. Kita yang hidup sesama manusia harus saling memberi, sayang pada sesama, tidak boleh memiliki sifat yang serakah, bersamasama merawat alam, dan juga merawat lingkungan.
Masyarakat Sunda Wiwitan saat ini bisa ditemukan di kawasan Kanekes Banten, Kampung Naga Cirebon, dan Cigugur Kuningan.
Sunda Wiwitan juga memiliki satu Tuhan yang kerap disebut dengan Sang Hyang Kersa. Dalam ajaran kepercayaan ini, Tuhan tetaplah satu, seperti ajaran umat Islam. Dalam perkembangannya, beberapa tradisi dari Sunda Wiwitan juga terpengaruh oleh unsur Hindu dan Islam.
Marapu
Marapu merupakan sebuah keyakinal lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Aliran kepercayaan ini merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.
Pemeluk kepercayaan ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Para penganut Marapu menerapkan keyakinannya dengan memuja arwah-arwah para leluhur. Dalam bahasa Sumba, arwah-arwah leluhur itu disebut Marapu, yang artinya "yang dipertuan" atau "yang dimuliakan".
Salah satu desa yang warganya menganut kepercayaan ini ada di Kampung Tarung, Waikabubak. Kampung Tarung ini masih mempertahankan kebudayaan para leluhur dari bangunan arsitektur rumahnya. Tidak heran jika warga di sana juga masih meyakini kepercayaan leluhur mereka.
Advertisement
Malim
Di Sumatera Utara, tepatnya di tanah Batak, masih ada sekelompok orang yang dengan teguh tetap menganut agama nenek moyang mereka, yakni Malim. Para pengikut aliran kepercayaan ini disebut sebagai Parugamo Malim, atau bisa disingkat Parmalim.
Malim sendiri berpusat di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Berdasarkan sejarah dan cerita dari penganut agama ini, konon Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari 1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia Naipospos.
Parmalim percaya kepada Tuhan yang mereka sebut dengan nama Ompu Mulajadina Bolon. Nama ini kadang disingkat menjadi Mulajadi Nabolon. Mereka juga kadang menyebut atau memakai nama lain, seperti Debata atau Pelean Debata. Apapun sebutannya, semua merujuk pada satu nama yang sama, yaitu Tuhan.
Selain itu, mereka mempercayai adanya dewa-dewa yang membantu Debata Mulajadi Na Bolon, seperti Debata Na Tolu, Si Boru Deakparujar, Nagapadohaniaji, dan Si Boru Saniang Naga.
Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh.
Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu.
Kaharingan
Kaharingan adalah nama kepercayaan atau keyakinan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen.
Dikarenakan kebijakan negara yang hanya mengakui enam agama resmi, maka Kaharingan dilihat sebagai adat, kebudayaan atau aliran kepercayaan. Dengan demikian, para penganut aliran kepercayaan Kaharingan secara tidak langsung diklasifikasikan sebagai orang-orang yang “belum beragama”, atau “tidak beragama”.
Sebagian masyarakat Dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan dan juga sangat menghormati leluhur mereka, apapun yang telah ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan. Dan mereka beranggapan apabila tidak dijalankan maka akan ada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang-orang yang berada di sekitar mereka.
Sebuah aliran atau kepercayaan yang ada akan terus terjaga dan terpelihara selama para pendukungnya melakukan tata cara ibadah atau ritual kepercayaannya tidak bertentangan dengan norma-norma atau hukum yang berlaku baik itu hukum adat maupun hukum negara.
Meski masuk dalam cakupan agama Hindu, Kaharingan masih memiliki tradisi asli yang tidak bisa disamakan dengan agama lainnya, seperti tempat ibadah tersendiri yang dinamakan Balai Basarah.
Advertisement
Tonaas Walian
Keyakinan Tonaas Walian dianut orang-orang Minahasa di Sulawesi Utara. Pemimpin Minahasa tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan pendeta.
Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal Ta’as. Kata ini diambil dari nama pohon kayu besar dan tumbuh lurus ke atas. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah wanua (negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Itulah beberapa aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Ternyata ada banyak keberagaman yang ada di negara ini dan mari sama-sama jaga toleransi beragama kita agar tercipta kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan.