Saat Anak-Anak Sulteng Ekspresikan Krisis Iklim dengan Karya Seni

Musik, monolog, hingga puisi menjadi medium anak-anak di Sulawesi Tengah mengekspresikan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan.

oleh Heri Susanto diperbarui 10 Okt 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2022, 13:00 WIB
pentas seni anak-anak Sulteng
Pentas seni musik dari sanggar seni Kalena yang menggambarkan terjadinya perubahan iklim, Minggu (9/10/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Liputan6.com, Palu - Di saat bibir tak berucap kata primata tak berdaya

Bumi yang tua itu kau paksa bekerja tuk hidup mereka

Udara yang begitu pekat memaksaku untuk bertahan

Tangisan ibu pertiwi menjadi saksi rusaknya bumi

Ku harapkan ini segera berakhir

Lirik lagu yang memotret dampak perubahan iklim itu dibawakan sanggar seni Kalena dalam ‘Pentas Seni Krisis Iklim’ yang diinisiasi anak-anak yang tergabung dalam Child Campaigner Sulawesi Tengah di Palu, Minggu (9/10/2022).

Ruang seni itu juga jadi ajang berekspresi bagi Rifal, asal Desa Labean, Donggala dengan pertunjukan monolognya yang ekspresif. Anak berusia 18 tahun itu dengan apik memerankan diri sebagai anak yang cuek terhadap perubahan lingkungan, lalu dalam sekejap berganti peran menjadi bumi yang rentan.

Kontradiksi peran dalam monolog itu mampu “menyentil” anak-anak yang menyaksikan dan menyuguhkan pesan betapa besarnya peran anak dalam upaya pengurangan dampak perubahan iklim.

Pesan dalam puisi ‘Jeritan Sang Pertiwi’ dari Putri Nur Fadila tak kalah kuatnya. Dia menyinggung tentang perubahan bumi akibat ulah manusia yang makin menggelisahkan.

“Hujan dingin menghantam aku, kaca-kaca gedung menggerogoti kulitku menyengat. Terlalu ironi bumi pertiwiku, segenggam harap hanya berbuah tanda tanya,” penggalan puisi yang dibacakan Putri Nur Fadila.

Simak Video Pilihan Ini:

Aksi Kecil untuk Perubahan Besar

pentas seni anak-anak Sulteng
Pentas seni monolog dari salah satu anak yang menggambarkan terjadinya perubahan iklim di Sulteng, Minggu (9/10/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Pentas seni itu memang jadi medium kampanye anak-anak Sulawesi Tengah yang telah merasakan dampak perubahan iklim yang memengaruhi kehidupan mereka.

Riziq (18 th) misalnya, yang bercerita akibat banjir bandang di desanya di Kabupaten Sigi September lalu banyak keluarga yang kehilangan sumber pangan dan ekonomi lantaran sawah dan kebun ikut terendam banjir. Padahal sebelumnya banjir besar seperti itu belum pernah terjadi di desanya, Desa Pakuli Utara.

Adapula Rahmi dari Donggala yang menceritakan anak-anak pesisir di Desa Labean yang masih dihantui banjir rob yang membuat akses ke sekolah terputus.

Save the Children Indonesia yang mendukung pentas seni itu menyebut anak-anak di Sulawesi Tengah punya risiko tinggi terdampak perubahan hingga krisis iklim. Bencana alam yang mengubah kondisi lingkungan dan ekonomi turut memperburuk kondisi tersebut.

Media and Brand Manajer Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah bahkan mengungkapkan berdasarkan Assesmen pihaknya terdapat 40 desa di Sulteng yang berisiko tinggi terdampak krisis iklim dengan berbagai potensi bencana. Olehnya anak-anak menjadi kunci perubahan perilaku untuk mengurangi risiko.

“Dalam kampanye Aksi Generasi Iklim, anak-anak dan orang muda diberikan peningkatan kapasitas terkait bahaya krisis iklim, serta didorong untuk menularkan pengetahuan mereka dengan cara-cara yang menarik massa, serta melakukan suatu perubahan kecil untuk menjaga bumi kita,” Dewi mengatakan, Minggu (9/10/2022).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya