Keragaman Pangan Indonesia Tinggi tapi Ketahanan Pangan Rendah

Keragaman pangan Indonesia di papan atas, tapi tidak diimbangi dengan ketahanan pangannya.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 08 Nov 2022, 10:06 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2022, 14:31 WIB
Sorgum (Yayasan Kehati)
Keragaman pangan Indonesia di papan atas, tapi tidak diimbangi dengan ketahanan pangannya.

Liputan6.com, Jakarta - Leave No One Behind. Tema Hari Pangan Sedunia 2022 ini mengindikasikan bahwa masih ada kerawanan pangan yang melanda masyarakat di dunia. Kerawanan ini berangkat dari persoalan seperti pandemi covid-19, perubahan iklim, ketegangan internasional, dan kenaikan harga.

Pemerintah Indonesia melalui Kemenko Bidang Perekonomian menyatakan bahwa untuk menciptakan ketahanan pangan di tengah dinamika permasalahan global, salah satu strateginya yaitu dengan melakukan diversifikasi pangan lokal.

Keberagaman merupakan jawaban sumber kebutuhan pangan lokal ke depan. Upaya untuk kembali ke sumber pangan lokal harus ditingkatkan.

“Keragaman sumber pangan nusantara merupakan jawaban terhadap permasalahan kelaparan, gizi buruk, termasuk perubahan iklim,“ jelas Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI Renata Puji Sumedi Hanggarawati.

Indonesia memiliki tingkat keragaman pangan yang sangat tinggi. . Keragaman sumber pangan ini merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brazil.

Sementara terkait keanekaragaman hayati, data dari Badan Pangan Nasional 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga, dengan kekayaan 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman

Namun, fakta tersebut tak lantas membuat Indonesia memiliki ketahanan pangan yang mumpuni. Majalah The Economist merilis Global Food Security Index atau Indeks Ketahanan Global 2022 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-63 dari 113 negara di dunia, jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lain.

Indeks itu diukur berdasarkan empat indikator yakni keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan makanan, serta keberlanjutan dan adaptasi. Secara umum, keterjangkauan harga pangan Indonesia dinilai cukup baik dengan skor 81,5 poin. Namun, beberapa indikator lain masih lemah.

Secara rinci, indikator ketersediaan pasokan Indonesia memiliki skor sebesar 50,9 poin. Skor indikator kualitas dan keamanan pangan Indonesia sebesar 56,2 poin. Lalu, indikator keberlanjutan dan adaptasi pangan sebesar 46,3 poin.

 

Terjebak Beras

Sorgum (Yayasan Kehati)
Keragaman pangan Indonesia di papan atas, tapi tidak diimbangi dengan ketahanan pangannya.

Di Indonesia, beras menjadi sumber pangan dengan rata-rata konsumsi rumah tangga sebesar 94,9 kg/kapita/tahun pada tahun 2019. Diperlukan sekitar 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 270 juta jiwa (Badan Ketahanan Pangan, 2020).

Program cetak sawah masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang jumlahnya terus bertambah. Ini seperti realitas dari teori Malthus tentang Essay on Population bahwa populasi bertambah menurut deret ukur, sementara produksi makanan cenderung bertambah menurut deret hitung.

Merujuk realitas di atas, Indonesia memerlukan transformasi sistem pangan nasional yang dimulai dari sisi permintaan. Masyarakat Indonesia perlu kebiasaan baru dalam pola konsumsi makanan pokok, bukan hanya nasi tapi juga ragam pangan lokal lainnya.

Terkait sumber karbohidrat, tidak hanya beras, Indonesia memiliki beragam biji-bijian sumber karbohidrat , seperti jewawut, sorgum, hingga jelai. Selain itu, hampir di semua daerah memiliki umbi-umbian seperti ubi jalar dan talas.

Papua, yang tahun 2018 lalu dilanda bencana gizi buruk, memiliki kekayaan umbi luar biasa. Sebanyak 224 kultivar ubi jalar ditemukan di Lembah Baliem dan Wissel, sedangkan di Anggi tercatat 60 kultivar (Schneider et al., 1993 dalam Suhendra dkk, 2014). Papua juga memiliki kekayaan talas. Hasil seleksi LIPI menemukan 20 kultivar talas yang dianggap potensial.

Talas merupakan plasma nutfah penting karena merupakan salah satu jenis umbi-umbian asli Indonesia dan sudah teruji serta terbukti mampu beradaptasi dengan baik. Bahkan, domestifikasi pertama talas di dunia kemungkinan dilakukan oleh leluhur orang Papua, yang terlihat dari jejak pembukaan hutan di Baliem 7.000-6.000 tahun lalu.

Bagian terendah lembah-lembah dataran tinggi utama di Baliem terbukti telah dibuka dan ditanami talas dan pisang (Suhendra dkk, 2014).

Indonesia juga menjadi pusat asal dan keragaman tanaman pisang. Dari 66 jenis pisang (Musa) di dunia, terdapat 12 jenis di Indonesia (Nasution & Yamada 2001 dalam Suhendra dkk, 2014). Paling sedikit terdapat 15 varietas liar Musa acuminata yang tersebar dari Aceh hingga Papua (Nasution 1991 dalam Suhendra dkk, 2014). Sumber karbohidrat lain dari buah yang keberadaannya berlimpah adalah sukun (Artocarpus altilis).

 

Kembali ke Sumber Pangan Lokal

Sorgum (Yayasan Kehati)
Keragaman pangan Indonesia di papan atas, tapi tidak diimbangi dengan ketahanan pangannya.

Sementara karbohidrat dari batang tanaman terdapat pada sagu yang di masa lalu sebenarnya tersebar dari Papua hingga Aceh. Sagu merupakan sumber pangan penting di masa lalu, jauh sebelum beras.

Pemakaian kata sega dalam bahasa Jawa untuk menyebut nasi (sumber karbohdirat), menjadi penanda pentingnya tanaman ini sebagai sumber pangan sebelum padi. Misalnya, untuk menyebut nasi dari beras, orang Jawa akan mengatakan sega beras, nasi dari jagung akan disebut sega jagung, serta nasi dari singkong yang dikeringkan (sega tiwul).

“Menilik sejarah dan menjalankan amanat undang-undang no 18 tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah perlu menerapkan regionalisasi sistem pangan dan sumber keragaman sumber pangan lokal - yang secara alami telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan secara budaya menjadi sumber pangan masyarakat dan kedaulatan sumber pangan daerahnya,” kata Puji.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya