Hari Pahlawan 10 November, Ini Sejarah Pertempuran Surabaya yang Diakui Pemerintah

Setiap 10 November masyarakat Indonesia memperingari Hari Pahlawan.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Nov 2022, 10:22 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2022, 10:20 WIB
Brigjen Mallaby
Mobil Brigjen Mallaby yang hangus terbakar. (en.wikipedia.org)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 10 November di Indonesia diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hal itu menyusul sejarah pertempuran 10 November 1945 yang diakui oleh pemerintah pusat sebagai Hari Pahlawan Nasional, telah memberi sumber inspirasi untuk membangkitkan semangat nasionalisme seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, Hari Pahlawan bisa menjadi inspirasi dan contoh teladan untuk menyuburkan jiwa kepahlawanan di segala bidang pembangunan.

Pertempuran yang dilakukan arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dengan kegigihan dan kesetiannya yang didasari oleh nilai-nilai yang ada dalam sila-sila Pancasila dan cita-cita Proklamasi yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Pengaruhnya sangat kuat dan luar biasa bagi perjuangan rakyat Indonesia di daerah-daerah lain di Indonesia pada waktu itu dan pertempuran–pertempuran selanjutnya, serta tetap pula berpengaruh pada generasi penerus bangsa Indonesia selanjutnya.

Berita akan mendaratnya pasukan sekutu pada 25 Oktober 1945 di Surabaya diberitakan pertama oleh Menteri Penerangan Amir Syarifudin, dari Jakarta.

Dalam berita tersebut, dijelaskan tugas-tugas pasukan sekutu di Indonesia dan berpesan pemerintah daerah di Surabaya untuk menerima dengan baik pasukan sekutu dan ikut membantu tugas–tugas yang diemban tentara sekutu tersebut.

Dengan berdasarkan misi sekutu tersebut, maka jelaslah bahwa kedatangan mereka ke Indonesia itu untuk maksud yang baik dan bukan untuk menginjak-injak kedaulatan bangsa Indonesia yang telah kita diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Untuk menjelaskan sikap politik pemerintah pusat saat itu, maka telah datang pula ke Surabaya suatu delegasi dari Jakarta yang dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo (Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat), Menteri Pertahanan Mohammad Suryo Adikusumo dan Dr. Kodyat.

Namun, sikap politik pemerintahan pusat tersebut sulit diterima oleh rakyat Surabaya pada umumnya yang mencurigai kedatangan sekutu ke Indonesia tersebut adalah sebagai usaha untuk membantu mengembalikan kolonialisme Belanda di Indonesia.

Hal ini berhubungan erat dengan kasus Kolonel PG. Huijer, perwira tentara sekutu berkebangsaan Belanda yang datang ke Surabaya pertama kali pada 23 September 1945, sebagai utusan Laksamana pertama Patterson, pimpinan angkatan laut sekutu di Asia Tenggara ini ternyata membawa misi rahasia pula dari pemimpinan tertinggi angkatan laut kerajaan Belanda sehingga makin menambah kecurigaan rakyat Indonesia di Surabaya.

Huijer yang pada saat itu secara terang–terangan menentang revolusi Indonesia, sehingga akhirnya ditangkap dan ditawan oleh aparat keamanan Indonesia.

Walaupun demikian, pada saat pasukan sekutu mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 tersebut, rakyat Indonesia di Surabaya menerimanya dengan tangan terbuka dan penuh damai.

Pada 26 Oktober 1945, mulai pukul 09.00 hingga pukul 12.30 berlangsung pertemuan antara wakil-wakil pemerintah Indonesia di Surabaya yang terdiri dari Residen Sudirman ketua KNI, Doel Arnowo, Walikota Rajimin Nasution serta Mohammad, dengan pihak sekutu yang terdiri dari Brigadier Jendral A.W.S. Mallaby dan para stafnya, setelah pertemuan sebelumnya tidak berhasil.

Pertemuan tersebut, pasukan Inggris secara berkelompok diperbolehkan untuk menggunakan bangunan yang ada di dalam kota.

Tindakan provokatif tersebut terus berlanjut keesokan harinya yaitu pada 27 Oktober 1945 pada pukul 11.00 dengan pesawatnya, Inggris menyebarkan pampflet-pampflet di atas kota Surabaya. Surat selebaran tersebut isi pokoknya memerintahkan kepada rakyat Indonesia di Surabaya dan Jawa Timur agar menyerahkan kembali senjata-senjata dan peralatan yang telah dirampas dari tangan Jepang kepada Inggris.

Isi perintah tersebut disertai pula oleh ancaman, yaitu bila masih terlihat oleh pihak sekutu adanya orang-orang Indonesia yang masih bersenjata serta tidak menyerahkan senjatanya kepada serikat, maka akan menaggung risiko ditembak.

Karena isi pamfhlet tersebut sangat bertentangan dengan isi kesepakatan 26 Oktober 1945, maka Drg. Moestopo dan Residen Soederman segera mengadakan kontak dengan Brigadir Jendral Mallaby. Sedangkan tanggapan Brigden Mallaby seakan–akan tidak mau tahu, dengan dalil itu semua dari atasannya di pusat dan sebagai bawahan harus mematuhi atasannya.

Akibat tindakan provokatif dan khususnya isi pamflet Inggris tersebut, maka timbullah reaksi keras dari rakyat Indonesia di Surabaya. Kepercayaan pemimpin dan rakyat Indonesia di Surabaya yang semula telah tumbuh, mulai hilang.

Sudah Curiga Sejak Awal

Sikap rakyat Indonesia di Surabaya terutama para pemuda yang sejak semula telah curiga terhadap maksud kedatangan sekutu, kini tidak mentolelir tindakan provokatif dan ancaman Inggris tersebut.

Sikap sabar arek–arek Surabaya telah hilang dan kemarahan besarpun tak bisa dicegah lagi, sehingga kesiapsiagapun segera ditingkatkan.

Suasana panas di Surabaya tersebut mencapai klimaksnya pada 28 Oktober 1945. Pada hari itu sekitar jam 17.00, markas pertahanan Jalan Mawar No. 10, markas dan sekalipun studio radio pemberontakan di bawah pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara sejumlah pemimpin pasukan BPR dan pemimpin badan perjuangan bersenjata.

Dalam pertempuran tersebut, para pemimpin pejuang di Surabaya sepakat untuk tidak mentolerir tindakan provokatif tentara sekutu dan mereka sepakat pula untuk segera melancarkan serangan terhadap pasukan Inggris.

Demi kepentingan perjuangan diplomasi dan politik, maka Presiden Soekarno segera memenuhi permintaan pemimpin tentara Inggris di Indonesia untuk menghentikan pertempuran di Surabaya.

Esok harinya, 29 Oktober 1945 Presiden Soekarno beserta Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Meteri Penerangan Mr. Amir Syarifudin dengan menggunakan pesawat terbang RAF Inggris menuju ke Surabaya.

Berita kedatangan Presiden Soekarno dan rombongan tersebut disiarkan oleh radio pemberontakan. Selanjutnya dalam siarannya pada pukul 11.30 menyatakan bahwa apabila yang datang adalah Presiden Soekarno dan untuk menyelesaikan segala perselisihan, maka hendaknya disambut dengan beramai–ramai

Tetapi yang datang bukan Soekarno, maka kepada kesatuan yang ada di sekitar tempat tersebut diperintahkan untuk menawan siapa saja yang turun dari pesawat.

Setelah permusyawaratan, maka Presiden Soekarno segera mengumumkan pernyataan persetujuan gencatan senjata.

Pada keesokkan harinya, pertemuan dilanjutkan antara Presiden Soekarno dengan Mayor Jendral H.C Howthorn. Perundingan tersebut dihandiri pula oleh Wakil Presiden M. Hatta, Menteri Penerangan Amir Syarifudin, Gubernur Suryo dan Residen Sudirman, Bung Tomo, Roeslan Abdulgani, orang dari kepolisian, Doel Arnowo, Soengkono, Atmaji, Sumarsono dari pihak Indonesia dan Brigadir Jendral Mallaby, Kolonel Pugh, Kapten Shaw dan lain-lain.

Dari perundingan tersebut dicapailah kesepakatan mengenai pengakuan eksistensi RI, dan cara-cara menghindari bentrokan bersenjata. Pada siang harinya sekitar pukul 13.00, seusai perundingan Presiden Sukarno dengan rombongan beserta staf Jendral Hawthon berangkat ke Jakarta.

Anggota Kontak Biro bertugas menghubungi pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan gencatan senjata tersebut. Anggotanya terdiri dari pihak sekutu (Inggris) maupun dari pihak Indonesia.

Adapun anggota dari pihak Sekutu (Inggris) adalah, Brigadir Jendral Mallaby, Captain H. Shaw, Kolonel L. H. D. Pugh, Mayor M. Hobson dan Wing Commander Groom. Sedangkan di pihak Indonesia terdiri dari Residen Sudirman, T. D. Kundan, Doel Arnowo, Atmaji, Muhammad, Soengkono dan Soejono.

Sesudah diumumkan penghentian tembak menembak oleh pemerintah, rakyat Surabaya pun langsung mematuhinya. Hasil kesepakatan antara kedua belah pihak diumumkan, rakyat Surabaya dengan patuh menuruti hasil kesepakatan tersebut.

Namun dalam kepatuhan mereka tetap waspada dalam segala kemungkinan, karena pihak sekutu Inggris selalu mencari gara-gara. Pasukan sekutu menembaki posisi para pejuang, bahkan ketika permusyawarahan itu baru saja selesai dan Kontak Biro mengumumkan maklumat hasil perundingan antara Presiden Sukarno dan Mayor Jendral Hawthorn, tiba-tiba pasukan Inggris yang bertahan di Madrasah Al Irsyad (Jalan Pekulen), mengadakan serangan terhadap penduduk.

Sehingga banyak penduduk kampung yang tidak berdosa menjadi korban keganasan pasukan sekutu. Tidak hanya di Madrasah Al Irsyad, pasukan sekutu mempertontonkan keganasannya, tetapi juga di tempat-tempat lain sehingga penduduk merasa tidak aman dan bahkan mengungsi untuk mencari perlindungan.

Seperti yang terjadi di sekitar Nyamplungan, Sukodono, Kapuran dan Ngampel, karena merasa kurang aman penduduk lalu meninggalkan rumah-rumah mereka untuk mengungsi ke tempat yang aman. Sebagian penduduk berlindung di Masjid Ngampel.

Pertempuran juga terjadi pada hari yang sama di Kaliasin 46 dan bahkan menelan korban jiwa dari kalangan penduduk.

Terbunuhnya Mallaby

Kematian Brigadir Jendral Mallaby menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945.

Di mana dalam ultimatum itu, sekutu meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA serta ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang orang Indonesia tidak menaati perintah Inggris.

Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya pada 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.

Namun ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya, sehingga terjadilah pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat pada 10 November 1945. Selama lebih kurang tiga minggu lamanya pertempuran terjadi.

Medan perang Surabaya kemudian mendapat julukan ‘neraka’ karena kerugian yang disebabkan tidaklah sedikit. Pertempuran tersebut telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil.

Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1.600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak dan hancur.

Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itu serta semangat membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya, membuat Inggris serasa terpanggang di neraka dan membuat kota Surabaya kemudian dikenang sebagai Kota Pahlawan.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya merupakan suatu wujud dari rasa kebangsaan para pemuda Surabaya didalam membela bangsa dan negaranya mempertahankan kemerdekaannya. Pengorbanan yang dilakukan arek-arek Surabaya sebagai warga bangsa ini tidak lain untuk eksistensi bangsanya agar tetap bersatu hidup terus di bawah kehendaknya sendiri bukan oleh bangsa lain atau penjajah dalam mewujudkan cita-cita bersama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya