Mengenal Oosouji, Seni Bersih-Bersih ala Jepang yang Menghiasi Piala Dunia 2022

Budaya oosouji merupakan kegiatan bersih-bersih pada akhir tahun atau pembersihan besar-besaran.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Des 2022, 05:00 WIB
Diterbitkan 02 Des 2022, 05:00 WIB
Persiapan Jepang Jelang Duel Hidup Mati Lawan Spanyol di Piala Dunia 2022
Pemain Jepang melakukan pemanasan saat sesi latihan di Doha, Qatar, 29 November 2022. Jepang akan menghadapi Spanyol dalam pertandingan Grup E Piala Dunia 2022 pada 1 Desember. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Yogyakarta - Piala Dunia 2022 Qatar menjadi tempat berkumpulnya manusia dari berbagai negara, ras, agama, suku, hingga budaya. Salah satu budaya yang terlihat dan membuat semua orang berdecak kagum adalah budaya oosouji (大掃除) milik masyarakat Jepang.

Budaya oosouji merupakan kegiatan bersih-bersih pada akhir tahun atau pembersihan besar-besaran. Para anggota keluarga biasanya melakukan kegiatan ini selama satu minggu penuh untuk menyambut tahun baru.

Tak hanya bertujuan membersihkan sampah, budaya ini juga dianggap sebagai ritual membersihkan nasib buruk untuk menuju awal baru yang baik. Budaya inilah yang melekat pada masyarakat Jepang, sehingga akan selalu dilakukan di mana pun berada.

Saat mendukung tim negaranya di stadion, para pendukung Timnas Jepang melakukan kegiatan tersebut bersama-sama. Mereka sengaja membawa plastik sampah besar untuk memungut sampah yang berserakan sesaat sebelum pertandingan dan setelah pertandingan usai.

Sementara itu, di ruang ganti, para pemain meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan rapi dan bersih. Menariknya, mereka juga meninggalkan catatan ucapan terima kasih lengkap dengan origami berbentuk tsuru (ツル) atau bangau yang menyimbolkan harapan dan semangat.

Sebenarnya, aksi ini bukanlah hal yang baru, apalagi dalam ajang sepak bola internasional. Pada Piala Dunia 2014 di Brazil dan Piala Dunia 2018 di Rusia, ruang ganti pemain Jepang juga ditinggalkan dalam keadaan sangat bersih.

Tak lupa, mereka juga meninggalkan ucapan terima kasih. Hal serupa juga dilakukan Timnas Jepang dalam Final Asian Cup 2019 di Uni Emirat Arab.

Meski saat itu Timnas Jepang kalah dari Timnas Qatar, para pemain tetap melakukan tradisi bersih-bersih. Tentu saja, lengkap dengan ucapan terimakasih dalam bahasa Arab, Jepang, dan Inggris.

Sikap para pemain, ofisial, dan para pendukung Timnas Jepang pun kerap mendapat apresiasi dari FIFA dan masyarakat internasional. Hal ini menjadi contoh yang sangat baik bagi masyarakat di berbagai negara.

 

 

**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:

1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tradisi Bersih-Bersih Jepang

Tradisi bersih-bersih ini membuat Jepang menjadi negara yang bersih. Mengutip dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kisah kebersihan Jepang sempat dicatat seorang navigator asal Inggris yang kemudian menjadi samurai sekaligus penasihat Tokugawa Ieyashu, William Adams.

Catatan Adams pun menjadi referensi dalam buku 'Samurai William: The Englishman Who Opened Japan' karya Giles Milton. Milton menulis, pada 1600 atau ketika Adams tiba di Jepang, ia terkejut dengan adanya kakus dan saluran pembuangan.

Para bangsawan juga tampak sangat bersih dan kerap melakukan mandi uap dari kayu wangi. Kondisi ini mengejutkan Adams karena pada tahun yang sama, London bukanlah kota bersanitasi baik.

Bahkan, saat itu London diserang banyak penyakit, salah satunya wabah pes yang berasal dari gigitan kutu hewan pengerat. Wabah tersebut melanda London sekitar 1665-1666 dan mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia.

Adapun tradisi bersih-bersih Jepang yang telah berusia ratusan tahun itu berakar dari ajaran Buddhisme Zen. Dalam Zen, kegiatan bersih-bersih dianggap sebagai latihan spiritual, serupa dengan meditasi.

Tradisi ini tercatat dalam Engishiki (延喜式) atau buku prosedur hukum dan adat istiadat yang dibuat pada era Engi (901-923). Salah satu bab dalam Engishiki menuliskan instruksi cara membersihkan Istana Kekaisaran Kyoto.

Sistem pembersihan ini kemudian diadopsi kuil Buddha dan kuil Shinto. Lebih jauh lagi, tradisi bersih-bersih ini pun akhirnya diserap oleh masyarakat Jepang.

Demi dilestarikannya budaya ini, oosouji pun tidak hanya diterapkan di lingkungan keluarga, melainkan juga diajarkan di sekolah. Selepas pelajaran usai, para siswa membersihkan kelas, koridor, dan toilet setiap hari.

Untuk menjaga ruangan tetap bersih, para siswa pun mengganti sepatu jalan dengan uwagutsu (上靴 ) atau sepatu dalam ruangan. Hal ini untuk menghindari masuknya kotoran dari luar.

Selain ajaran Zen, budaya bersih-bersih ini juga ada dalam ajaran Shinto yang menjadi jiwa identitas Jepang. Salah satu konsep kunci Shinto adalah kagare (穢れ), yakni ketidakbersihan dan kekotoran batin.

Penyebab kagare adalah penyakit, kematian, kotoran fisik, serta tindakan bejat pemerkosaan. Kagare dapat membawa malapetaka yang membahayakan masyarakat.

Pada era modern, tradisi berbenah Jepang kembali mendapat perhatian internasional melalui metode KonMari yang diperkenalkan Marie Kondo. Dalam buku 'The Life-Changing Magic of Tidying Up', Kondo menjelaskan konsep berbenah bukan sekedar merapikan barang.

Berbenah juga merujuk pada metode menumbuhkan kepekaan terhadap keinginan dan kebutuhan. Metode ini pun dapat memberikan manfaat emosional menuju gaya hidup sehat dan membahagiakan jiwa.

Panjangnya perkembangan sejarah bersih-bersih di Jepang membuat masyarakatnya kerap melakukan hal ini dalam berbagai kesempatan, salah satunya di Piala Dunia 2022 Qatar. Sikap ini juga menunjukkan penghormatan kepada penyelenggara, pemain lawan, pelatih, ofisial, serta penonton lainnya.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya