Liputan6.com, Palembang - Tikar purun atau tikar Pedamaran merupakan salah satu kerajinan anyaman tradisional Sumatra Selatan yang masih diproduksi dan digunakan hingga saat ini. Kerajinan anyaman merupakan wujud kebudayaan yang termasuk ke dalam artefak.
Kerajinan ini bahkan sudah ada sejak masa kolonial Belanda di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada abad ke-19 atau sekitar 1870-an. Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Belanda membagi wilayah Sumatera Selatan menjadi sembilan Afdeeling.
Wilayah tersebut berada di bawah Keresidenan Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Salah satu wilayah tersebut bernama Afdeeling ke-8 dengan nama Afdeeling Komering Ilir. Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Belanda membagi wilayah Sumatra Selatan menjadi sembilan Afdeeling.
Advertisement
Baca Juga
Wilayah tersebut berada di bawah Keresidenan Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Salah satu wilayah tersebut bernama Afdeeling ke-8 dengan nama Afdeeling Komering Ilir.
Adapun kerajinan anyaman tikar purun sebagian besar bermotif geometris. Tikar ini memiliki daya tahan yang cukup tinggi karena dibuat dari tanaman purun yang batangnya berserat.
Tanaman purun memiliki kemiripan dengan pandan, yakni merupakan jenis tumbuhan rumput yang hidup liar di dekat air atau rawa. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah rawa-rawa di Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Kerajinan tikar purun sebagian besar dikerjakan oleh kalangan ibu-ibu rumah tangga atau kaum hawa. Sementara kaum pria biasanya merantau untuk mencukupi penghasilan rumah tangga.
Para wanita biasanya mempelajari cara membuat tikar purun sejak kecil. Mereka telah dibiasakan oleh para ibu untuk mempelajari kerajinan ini agar dapat diwariskan dan dilestarikan secara turun-temurun.
Menurut masyarakat setempat, tikar purun digunakan oleh masyarakat Sumatra Selatan sejak dilahirkan ke dunia hingga meninggal dunia. Para perajin tikar purun biasanya membuat kerajinan ini sambil. bernyanyi dan memakai pupur (bedak) tebal yang terbuat dari beras.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak