Liputan6.com, Medan - Selain dayok nabinatur, makanan khas Simalungun Sumatra Utara lainnya yang wajib dicoba adalah labar. Labar merupakan kuliner berbahan dasar ubi kayu dan daging.
Mengutip dari indonesia.go.id, daging yang digunakan untuk membuat labar biasanya adalah daging yang mengandung tulang lunak atau dalam bahasa Simalungun disebut garap-garap.
Daging yang biasanya digunakan diambil dari punggung ayam, buyut (daging tupai), leto (burung puyuh), dan lingkaboh (kelelawar buah). Namun, karena sekarang sulit menemukan daging tupai, puyuh, dan kelelawar buah, maka masyarakat beralih memanfaatkan daging unggas sebagai bahan utamanya.
Advertisement
Baca Juga
Meski berbahan dasar daging unggas, kuliner ini sangat berbeda dengan dayok nabinatur, baik dari segi historis, cara meracik, atau segmentasi penikmatnya. Labar dibuat dari bahan dasar, seperti daging ayam, singkong, lengkuas, sereh, kemiri, lada, bawang batak, ubi yang diparut atau diserut, serta sikkam.
Jika tidak ada ubi, masyarakat biasanya menggantinya dengan kelapa parut. Daging ayam yang telah dibakar tersebut kemudian dicincang bersama semua bumbu hingga benar-benar halus.
Kemudian, daging dan bumbu yang telah halus itu dicampur dan diaduk dengan ubi parut. Hal yang perlu diperhatikan adalah setelah ubi diparut harus diperas dengan kuat agar kandungan airnya berkurang.
Selanjutnya, campuran daging, bumbu, dan serutan ubi inilah yang kemudian dinamakan labar. Labar biasanya dinikmati bersama nasi putih hangat.
Jika dayok nabinatur awalnya dipersembahkan kepada raja, labar justru merupakan makanan yang biasanya dinikmati masyarakat akar rumput. Secara geografis, daerah Simalungun sebagian besar merupakan pegunungan atau dataran yang agak tinggi. Daerah semacam itu, tentu saja akan sulit mendapatkan ikan.
Para leluhur yang saat itu hidup berburu, tidak selalu membawa hasil buruan. Hal tersebut membuat masyarakat setempat mulai belajar beternak unggas, terutama ayam.
Namun, ayam pun memiliki umur tertentu untuk bisa dipanen. Untuk mendapatkan asupan protein yang tinggi, para leluhur pun mengandalkan intuisi guna menemukan makanan alternatif. Terbersitlah ide mengonsumsi umbi-umbian maupun hidu (ulat bambu atau ulat sagu).
Ubi cukup mudah ditemukan dan ditanam. Budidaya ubi bahkan tidak membutuhkan banyak perhatian dan tenaga.
Ketersediaan ubi sebagai bahan tambahan makanan, akhirnya membuat para leluhur tidak lagi bingung mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Ubi atau singkong tersebut kemudian dicampur dengan daging ayam dan menghasilkan kuliner khas Kabupaten Simalungun yang dijuluki labar.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak