Liputan6.com, Mamuju - Desa Puttada, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, memiliki upacara ritual yang disebut cakkuriri. Cakkuriri merupakan upacara adat pengibaran bendera cakkuriri yang awalnya dilakukan oleh Kerajaan Sendana.
Upacara ini dilaksanakan oleh pihak Pappuangang di Puttada, yakni pihak yang mengangkat dan melantik Raja atau Maraqdia. Adapun bendera cakkuriri merupakn bendera atau panji pusaka Kerajaan Sendana.
Mengutip dari 'Upacara Ritual Pengibaran Bendera Cakkuriri di Desa Puttada Kecamatan Sendana Kabupaten Majene dalam Kaitannya dengan Pembelajaran Teater Tradisional Di Sekolah Menengah Atas' oleh Muhammad Adnan, upacara adat ini sangat langka karena hanya dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.
Advertisement
Baca Juga
Upacara ini berbentuk pengibaran bendera pusaka cakkuriri yang harus dilakukan melalui mekanisme dan aturan adat yang telah disepakati secara turun temurun. Prosesi upacara adat tersebut juga harus disepakati oleh pemegang amanah yang bertugas menjaga bendera, yaitu Pappuangang Puttada.
Cakkuriri juga merupakan lambang pusaka Kerajaan Sendana yang disimpan oleh Pappuangang Puttada sebagai pemegang amanah. Oleh karena itu, orang-orang Puttada tidak boleh mengibarkan bendera cakkuriri sembarangan, apalagi jika tidak sesuai dengan mekanisme atau amanah kesepakatan.
Pengibaran bendera cakkuriri ini sebenarnya telah memiliki jadwal yang sesuai dengan kesepakatan pemangku adat. Pelaksanaan acara ini diawali dengan ritual membunyikan alat musik.
Berbagai alat musik tradisional yang dimainkan, di antaranya calong, rebana, kecapi, dan alat musik serupa suling. Uniknya, acara pendahuluan ini dilakukan oleh para ibu-ibu dengan meletakkan dan membakar dupa. Selanjutnya, terdapat acara penyembelihan hewan kerbau (manggere’ tedhong).
Meski ritual ini awalnya dilaksanakan khusus oleh Pappuangang dan Maraqdia, tetapi seiring perkembangan zaman, kini pelaksanaannya sudah melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, hingga warga masyarakat umum.
Bahkan, kini cakkuriri dapat dikatakan sebagai teater tradisional. Pasalnya, kebiasaan suatu kelompok masyarakat dapat menjadi acuan munculnya teater tradisi, sehingga teater tradisi pun lambat laun menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
(Resla Aknaita Chak)