Liputan6.com, Jakarta - Melawan perundungan siber, Universitas Pertamina (Uper) sejak awal pendirian telah aktif menyuarakan isu cyber bullying melalui mata kuliah Literasi Media dan Digital. Upaya yang dilakukan Uper selama ini dengan memerangi perundungan di dalam maupun luar kelas.
“Secara preventif kami mengedukasi melalui mata kuliah agar mahasiswa bijak memanfaatkan media digital. Jika terjadi perundungan, kami menyediakan layanan konseling untuk memberikan ruang bagi para korban. Mahasiswa juga dapat melaporkan terduga pelaku ke komisi etik yang selanjutnya akan dibina oleh Fungsi Kemahasiswaan,” ujar Pjs Rektor Universitas Pertamina, Budi W. Soetjipto.
Selain itu, mahasiswa turut dibekali pengetahuan mengenai tindak kejahatan yang dapat muncul akibat penggunaan media digital, salah satunya perundungan siber. Untuk mengaplikasikan keilmuan yang sudah dipelajari, mahasiswa Program Studi Komunikasi UPER giat melakukan kampanye mengenai literasi media digital melawan perundungan.
Advertisement
Baca Juga
Kegiatan tersebut dilaksanakan di sejumlah sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah ke atas. Teranyar, kampanye dilakukan di SMAN 29 Jakarta, SMAN 58 Jakarta, dan SMAN 31 Jakarta.
Dosen Program Studi Komunikasi UPER sekaligus praktisi media sosial, Ita Musfirowati Hanika memaparkan perundungan siber yang marak terjadi utamanya dipicu oleh ketidakcakapan para pengguna teknologi, rendahnya kontrol diri, dan kurangnya pengetahuan terhadap tindakan kriminal.
Pada dasarnya perundungan di media sosial terjadi karena rendahnya tingkat literasi digital masyarakat. Terlebih, saat ini pendidikan literasi digital masih belum merata dan kebanyakan baru bisa ditemui di kota-kota besar.
Akibat ketimpangan ini, banyak masyarakat yang belum mengetahui etika bermedia sosial yang berujung pada tindak kekerasan siber,” ucap Ita.
Menurut Ita, seseorang yang menjadi target cyberbullying biasanya menerima pesan-pesan bermuatan negatif atau ujaran kebencian dari akun anonim. Jika terjadi terus-menerus dalam jangka waktu lama, bukan hal yang tak mungkin bila korban mengalami gangguan mental seperti depresi, memiliki masalah kepercayaan diri, hingga sulit beradaptasi.
Selain membahas mengenai cyber bullying, Ita memberikan tips untuk menanggulangi cyberbullying melalui kepandaian dalam menggunakan bermedia sosial.
“Di era yang serba digital ini, kemampuan menyaring informasi dan menahan diri untuk posting atau berkomentar terlalu banyak menjadi kunci agar kita tidak menjadi pelaku atau korban perundungan siber,” kata Ita.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 226 kasus kekerasan fisik dan perundungan. Di dunia maya, perundungan digital atau cyberbullying pun makin mengkhawatirkan.
UNICEF dalam laporan “Bullying in Indonesia” tahun 2020 mendapati 45 persen anak usia 14-24 tahun menderita perundungan siber. Pelecehan melalui aplikasi chatting menduduki porsi terbesar (45 persen), diikuti penyebaran foto/video pribadi tanpa izin (41 persen). Ironisnya, The National Council on Crime Prevention (2020) mengungkap 81 persen pelaku mengaku mendapatkan kepuasan diri jika melakukan perundungan melalui internet.