Liputan6.com, Kudus - Usulan nama KH Raden Asnawi salah satu ulama asal Kudus, Jawa Tengah, agar mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional kini makin menguat. Hal tersebut cukup beralasan, mengingat besarnya jasa kyai kharismatik saat melawan penjajajahan Belanda, hingga kiprahnya dalam pendirian Jam’iayyah Nahdlatul Ulama (NU).
KH Raden Asnawi atau akrab disapa Kiai Asnawi lahir di Kudus pada 1861. Ia lahir di Desa Damaran, Kudus pada tahun 1281 H/1861 M. Dia merupakan putra dari pasangan H Abdullah Husnin dan R Sarbinah. Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih keturunan ke-14 Sunan Kudus dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati.
KHR Asnawi adalah figur penting di Kudus dan kabupaten sekitarnya. Sebagai tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, KHR Asnawi konsisten mengembangkan dakwah dan memegang teguh nilai nasionalisme. Ia juga berperan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Advertisement
Banyaknya jasa KH. Raden Asnawi, tentu saja mendorong banyak pihak untuk berjuang keras mengusulkan nama ulama besar asal Kudus itu dalam beberapa tahun ini. Tahapan demi tahapan pun telah dilakukan, agar kyai pengasuh Pondok Pesantren Bendan Damaran dan pendiri madrasah Qudsiyyah Kudus segera mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Pemerintah Indonesia.
Baca Juga
Perkembangan terbaru, Pemkab Kudus menggelar “Seminar Nasional Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional untuk KHR Asnawi” di Pendopo Kabupaten Kudus, Minggu (4/2/2024). Agenda seminar ini dihadiri akademisi, sejarawan, alim ulama, perwakilan Pemerintah Provinsi Jateng serta keluarga yang KHR Asnawi.
Pj Bupati Kudus Muhamad Hasan Chabibie mengaku apresiasi dan terima kasih kepada semua pihak, termasuk akademisi, sejarawan yang turut mendukung dan berupaya merealisasikan gagasan untuk menjadikan KHR Asnawi sebagai pahlawan nasional dari Kabupaten Kudus.
“Kami mengapresiasi dan ucapkan terimakasih kepada pihak yang sudah menginisiasi ini sejak awal,” ujar Hasan yang baru menjabat Pj Bupati dalam dua bulan ini.
Hasan berharap seminar tersebut menjadi langkah takdim, sekaligus penghargaan kepada guru-guru serta masyarakat. Ia juga meminta dukungan masyarakat Kudus dan memohon ridho agar KHR Asnawi dapat diakui sebagai pahlawan nasional.
“Mari kita jadikan diri kita sendiri menjadi sosok yang membanggakan beliau (KHR Asnawi). Saya berharap lewat seminar ini menjadi ikhtiar kita menjadikan KHR Asnawi sebagai pahlawan nasional,” pintanya.
Dalam kesempatan yang sama, Imam Maskur selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, juga memberikan dukungan penuh atas upaya menjadikan KHR Asnawi sebagai pahlawan nasional. Ia menilai bahwa sosok KHR Asnawi telah memenuhi persyaratan sebagai pahlawan nasional. Yakni dengan kiprahnya yang berjasa bagi bangsa dan negara, termasuk sebagai delegasi Komite Hijaz.
“Untuk syarat umumnya KHR Asnawi sudah pasti memenuhi persyaratan semuanya. Kiprahnya di dunia nasional sudah tidak diragukan lagi. Bahkan di dunia internasional, KHR Asnawi pernah menjadi delegasi Hijaz untuk mengamankan aset aset bersejarah, salah satunya makam Rasulullah SAW,” imbuhnya.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Ulama Kharismatik Kudus
KH Raden Asnawi lahir di Kudus pada 1861. Ia lahir di Desa Damaran, Kudus pada tahun 1281 H/1861 M. Dia merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah. Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih keturunan ke-14 Sunan Kudus dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati.
KHR Asnawi berperan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di tingkat lokal, nasional, dan internasional. KHR Asnawi mampu membangkitkan semangat nasionalisme, melawan penjajah, serta memainkan peran kunci dalam memperjuangkan hak beribadah umat Islam di Tanah Haramain.
Dalam buku KH R Asnawi Ahli Dakwah dan Pendiri Nahdlatul Ulama (2020) karya M. Rifkza Chamami, Mc. Mifrohul Hana Chamami, dan Ihsan disebutkan, KHR Asnawi lahir pada tahun 1861 di daerah Desa Damaran Kudus.
Nama kecilnya Raden Ahma Syamsyi. Putra dari H Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini juga sempat berganti nama Ilyas. Ayahnya pedagang konfeksi besar. Sekitar tahun 1876, saat Asnawi berusia 15 tahun, dia dibawa ke Tulung Agung Jawa Timur oleh orang tuanya. Selain dilatih berdagang, Asnawi juga menimba ilmu di Pondok Pesantren Mangunsari Tulung Agung.
Asnawi menjadi teladan umat Islam di sekitarnya. Dia berkonsentrasi membentengi Islam Ahlussunah Wal Jamaah di Bumi Nusantara. Asnawi tegas mengkritik kebijakan penjajah Belanda saat itu. Asnawi juga bergabung dalam Serikat Islam Cabang Kudus. Dia pun akrab dengan Semaun, H. Agus Salim serta HOS Cokroaminoto.
KH R Asnawi pernah aktif di organisasi Sarekat Islam Cabang Makkah. Ia intens menjalin komunikasi dengan Wahab Hasbullah. Dalam organisasi Serikat Islam, Asnawi diberi jabatan kehormatan menjadi penasihat.
Asnawi sempat dibuang ke Surabaya oleh Belanda. Asnawi bergabung dengan Wahab Hasbullah, Mas Mansyur, dan KH Abdul Kahar. Mereka kemudian mendirikan lembaga pendidikan Islam Nahdlatul Ulama Wathan. Lembaga pendidikan tersebut membuka cabang di berbagai daerah, di antaranya Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik, dan wilayah lainnya.
Pertemuan KH. Wahab Hasbullah menunjuk delegasi Komite Hijaz berangkat ke kongres di Makkah. Delegasinya adalah KHR Asnawi (Kudus) dan KH Bisri Syamsuri (Jombang). Karena persoalan logistik, Komite Hijaz gagal menemui pimpinan Mahlah Ibn Sa'ud.
KH R Asnawi turut hadir bersama KHR Hambali dalam membidangi lahirnya NOE (selanjutnya disebut NU). Mereka sama-sama keturunan dari Sunan Kudus. Dari pertemuan di Surabaya, lahirlah kepengurusan jamiyah NU. KH R Asnawi sebagai Mustasyar NU bersama lima orang lainnya, termasuk KH R Hambali.
Dalam bidang akidah, Kiai Asnawi menulis sebuah karya berjudul Mu’taqad Seket. Karya berbahasa Jawa itu memuat penjelasan tentang 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Hampir semua karya Kiai Asnawi ditulis dalam bahasa Jawa pegon, yaitu abjad Arab dengan tambahan tanda tertentu untuk melambangkan bunyi yang tidak ada dalam aksara aslinya.
Ia menulis dengan aksara pegon karena mengikuti gurunya, K.H. Saleh Darat, yang tak ingin karya-karyanya mudah diendus pemerintah kolonial kala itu.
Penulis : Arief Pramono
Advertisement