Liputan6.com, Bandung - Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORPP BRIN) menyebutkan patogen fusarium verticillioides merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap hasil dan kualitas tanaman jagung. Tak hanya jagung, tanaman biji-bijian lainnya diserang oleh patogen ini pada gudang penyimpanan dan mencemari biji-bijian dengan menghasilkan mikotoksin dan inilah yang sangat ditakuti oleh para pemerhati pertanian.
Menurut Peneliti Ahli Muda Pusat ORPP BRIN, Hishar Mirsam, fusarium verticillioides adalah satu patogen tular tanah utama pada jagung yang bersifat kosmopolit atau memiliki inang yang cukup luas diantaranya jagung, sorghum, padi dan jewawut. "Dengan berkembangnya pertanian maka dapat dilihat bahwa penyakit tanaman telah menjadi faktor yang semakin signifikan mempengaruhi hasil panen dan efisiensi ekonomi diantara beberapa golongan patogen cendawan," ujar Hishar dicuplik dari laman BRIN, Rabu, 24 April 2024.
Hishar mengatakan besarnya kerugian disebabkan oleh fusarium verticillioides karena serangganya bersifat sistemik dan dapat berasosiasi dengan jagung.
Advertisement
Serangga ini mengkolonisasi akar batang dan tongkol hingga menyebabkan beberapa penyakit yang mungkin umumnya kita ketahui yaitu busuk batang Fusarium dan busuk tongkol Fusarium. Bahkan patogen ini dapat menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar hingga gagal panen.
"Seperti yang kita ketahui patogen ini adalah patogen tular tanah sehingga patogen ini dapat hidup dan bertahan pada sisa-sisa tanaman yang tidak dibersihkan atau tidak disanitasi dengan baik pada tanaman jagung sehingga dapat berkembang dengan baik pada sisa-sisa tanaman tersebut dan menjadi sumber inokulum untuk perkembangan patogen berikutnya," jelas Hishar.
Hishar menambahkan, bahwa patogen ini dikenal juga sebagai patogen yang sangat berbahaya karena kadang dia tidak menimbulkan gejala pada tanaman tetapi memiliki resiko yang sangat parah karena patogen ini dapat menghasilkan mikotoksin berupa fumonisin.
Fumonisin inilah yang menjadi ancaman terhadap kesehatan konsumen terutama manusia dan hewan karena dapat menyebabkan penyakit-penyakit kronis yang mematikan pada manusia maupun pada hewan ternak.
Laporan Kementerian Pertanian RI bahwa produksi jagung pipilan di Indonesia berfluktuatif dan cenderung meningkat terutama pada tahun 2022 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding pada tahun sebelum dan setelahnya.
"Melihat produksi jagung di Indonesia secara statistik mengalami peningkatan namun peningkatan produksi jagung tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan jagung secara nasional, salah satu penyebabnya yaitu karena adanya faktor pembatas berupa faktor biotik yaitu adanya serangan patogen tular tanah yang mungkin beberapa tahun terakhir menjadi salah satu kendala dalam produksi benih jagung bagi Indonesia," ungkap Hishar.
Â
Baca Juga
Strategi Pra dan Pasca Panen
Hishar menuturkan strategi pengendalian pra panen dapat dilakukan dengan metode agronomi yaitu dengan melakukan atau mengikuti teknik budidaya yang baik dan benar.
Selain itu, juga bisa dilakukan pengendalian hayati dengan menempatkan agent-agent antagonis baik dari golongan cendawan maupun bakteri, juga bisa dilakukan dengan pendekatan kimiawi atau pengendalian yang dilakukan pada saat tingkat serangan sudah melewati ambang kerugian ekonomi.
Kemudian untuk kerugian pasca panen hampir sama yaitu dapat dilakukan dengan metode fisik, metode hayati dan metode kimia.
"Apabila strategi pengendalian ini dilakukan secara baik dan benar maka dapat menjamin hasil produksi yang tinggi, kualitas bagus serta menjamin kesehatan manusia dan hewan ternak," jelas Hishar.
Jagung merupakan tanaman serealia ketiga yang paling banyak dibudidayakan di dunia dan berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan global.
Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016 memproyeksikan kebutuhan jagung dunia akan terus meningkat hingga mencapai 3.3 miliar ton pada tahun 2050.
Advertisement
Komoditas Utama Kedua Setelah Padi
Sementara itu Peneliti Ahli Pertama Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (BRIN), Suriani, menjelaskan jagung merupakan komoditas utama kedua setelah padi di Indonesia. Tidak hanya untuk pemenuhan tanaman pangan tetapi kebutuhan terbesar untuk kebutuhan pakan, terutama pakan ternak unggas. Untuk itu upaya pemerintah untuk peningkatan produksi jagung nasional terus dilakukan. Baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi, bagaimana perluasan areal dan bagaimana perakitan varietas unggul baru.
"Namun demikian, pada tahun 2023 tercatat produksi jagung nasional kita sebesar 14,46 juta ton. Ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2022. Dalam budidaya tanaman jagung tidak terlepas dari adanya kendala biotik dan abiotik yang dapat menghambat peningkatan produksi," terang Suriani.
Salah satu penyakit tanaman jagung yang beberapa tahun terakhir ini mulai diresahkan oleh petani di beberapa wilayah pengembangan di Indonesia yaitu penyakit busuk batang yang disebabkan infeksi bakteri dickeya zeae. Penyakit ini bisa menyebabkan infeksi beberapa komoditas unggulan di berbagai negara seperti pisang, jagung, padi, nenas dan lidah buaya.
Lebih lanjut Suriani menjelaskan, karakteristik patologi bakteri ini pada tanaman jagung menular melalui tanah. Bakteri ini mampu bertahan pada serasah tanaman terinfeksi bisa sampai 150 – 270 hari. "Hasil penelitian yang kami lakukan bahwa tanaman terinfeksi selama 60 hari, masih kita temukan sekitar 10-10² cfu/gram tanah dari koloni bakteri ini. Kemudian bakteri ini juga dapat berpindah melalui air irigasi, percikan hujan," jelas Suriani.
Bakteri dickeya ini mampu menyerang tanaman mulai fase vegetatif hingga generatif tanaman. Tanaman yang mulai terinfeksi akan terlihat layu, kemudian lama kelamaan pada batang itu akan muncul gejala busuk lunak. Terjadi maserasi jaringan tanaman sehingga terkadang pada fase generatif tanaman biasanya roboh. Sementara pada masa vegetatif tanaman tidak roboh, akan tetapi tanaman menjadi layu.
Infeksi yang sampai ke pangkal tongkol, biasanya tongkol terkulai atau menyebabkan busuk tongkol. Sehingga kerugian ekonomis bisa dirasakan petani karena terjadinya pembusukan pada tongkol sebelum matang fisiologis atau masa panen.
"Mekanisme yang perlu dilakukan untuk meminimalisir kerugian petani akan terinfeksi penyakit busuk batang yang disebabkan oleh Dickeya zeae ini melalui strategi pengendalian dengan cara preventif (pengendalian yang dilakukan sebelum adanya serangan OPT terlihat) dan strategi kuratif (pengendalian yang dilakukan segera setelah adanya serangan OPT)," papar Suriani.
Suriani menambahkan bahwa teknologi yang bisa dilakukan melalui pengendalian secara genetik, pengendalian secara kultur teknik, pengendalian secara hayati, dan pengendalian secara kimia.
Â
Produktivitas Jagung Nasional
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP BRIN), Puji Lestari, mengatakan di tahun 2024 iklim jauh lebih panas dibandingkan tahun lalu. Pemanasan global ini dan akan terus berlanjut ke depan.
Harapannya meskipun ada perubahan iklim, ORPP BRIN membantu memaksimalkan tanaman jagung untuk dukungan nasional.
Terutama untuk bagaimana tantangan-tantangan yang ada, baik untuk menekan produksi dengan kuantitas ataupun kualitasnya.
"Tantangan ini timbul karena beban iklim pun berdampak juga dari faktor abiotik dan biotik, dimana penyakit berdampak pada hasil. Untuk peningkatan produksi jagung ini harapannya kita swasembada secara berkelanjutan. Itu poin yang kita tekankan, namun secara fakta memang masih banyak kendala dan mungkin adopsi pengelolaan tanaman terpadu secara penuh. Kita harus cari solusinya," ucap Puji.
Dikatakan Puji, pathogen terutama tular tanah, menjadi topik bahasan para peneliti BRIN yang juga membahas produksi benih yang bermutu, sebagai salah satu usaha strategis dan inovatif.
Tak hanya peneliti dari BRIN, namun bekerja sama dengan narasumber dari swasta, untuk ikut mendeteksi hingga pemanfaatan teknologinya.
Tanggapan serupa dilontarkan Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha. Kementerian Pertanian menetapkan tahun 2024 ini produksi jagung nasional diharapkan bisa meningkat dan pemerintah membuat program upaya khusus untuk padi dan jagung sedangkan untuk kedelai masih perlu lagi effort, tapi yang paling urgent adalah padi dan jagung meskipun secara umum produksi jagung nasional tidak terlalu berfluktuatif dibandingkan dengan padi.
"Jagung walaupun masih ada impor itu sangat terbatas dan bahkan masih ada potensi ekspor ketika ada panen raya jagung, hanya saja mungkin beberapa gejolak harga ketika memang produksi itu kurang masih dirasakan," ungkap Yudhistira.
Imbas jumlah produksi dan kulaitas jagung ini juga terkait dengan peningkatan harga telur dan daging ayam, biasanya ada hubungan erat dengan kurangnya stok jagung sebagai bahan dari pakan ternak.
Biasanya akan berimbas kepada peningkatan harga dari telur ataupun ayam disamping tentunya kemarin peningkatan harga telur dan daging ayam disebabkan karena permintaan selama tahun baru dan hari raya.
Dikatakan Yudhistira, Indonesia dikenal sebagai negara tropis dan tentunya permasalahan utama dalam produksi di negara tropis adalah hama penyakit karena lingkungannya sangat menguntungkan untuk perkembangan hama penyakit.
"Saya pernah berdiskusi dengan produsen benih jagung mengatakan kalau ingin kita mengintroduksi jagung dari negara-negara lain, jagungnya itu harus sudah adaptif dulu di Indonesia karena memang tantangan serangan hama penyakit di Indonesia cukup tinggi dibanding di negara lain dan oleh karena itu juga selain peningkatan ketahanan jagung dari sisi genetik juga bagaimana nanti dari sisi pengelolaan patogennya itu sendiri," tutur Yudhistira.
Tanaman jagung masih menjadi prioritas utama dari program Riset Inovasi (Risnov) Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) karena memang dukungan ketahanan pangan untuk kebutuhan pangan nasional. Selain pangan juga untuk pakan, tentu saja untuk bahan baku industri.
Perannya menjadi sangat strategis untuk membantu menopang dalam pengembangan agribisnis. Namun perubahan iklim berdampak pasti untuk produksi kualitas pangan, termasuk jagung.
Advertisement