Peringati Hari Bumi, Walhi NTT Ajukan Gugatan CLS Pengelolaan Sampah Pemkot Kupang

Pada Hari Bumi Tahun 2024 WALHI Nusa Tenggara Timur menyoroti masalah sampah di kota Kupang yang sampai saat ini belum secara serius diselesaikan oleh pemerintah

oleh Ola Keda diperbarui 24 Apr 2024, 21:30 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2024, 21:28 WIB
Aktivis Walhi NTT pose bersama saat mengajukan gugatan CLS di pengadilan negeri Kupang. (Foto: Liputan6.com/Ola Keda)
Aktivis Walhi NTT pose bersama saat mengajukan gugatan CLS di pengadilan negeri Kupang. (Foto: Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Aliansi Rakyat Asrikan Kota Kupang (ARAK) bersama WALHI Nusa Tenggara Timur (NTT) mendatangi kantor Wali Kota Kupang, kantor DPRD kota Kupang, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menyerahkan notifikasi gugatan warga negara atau Citizen Law Suit (CLS) kepada pemerintah kota Kupang.

Notifikasi CLS dilayangkan sejumlah individu sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah akibat lalai menangani persoalan sampah di TPA Alak, kecamatan Alak, kota Kupang.

Divisi AKPR WALHI NTT, Gres Gracelia mengatakan, gugatan CLS ini sebagai akses untuk mendapatkan keadilan terkait dengan masalah pengelolaan sampah di TPA yang tidak berjalan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengeolaan sampah hingga menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

WALHI NTT menilai, Citizen Law Suit sebagai salah satu cara warga negara untuk menuntut keadilan kepada pemerintah terkait tata kelola pengelolaan sampah di kota Kupang yang tidak menjamin keselamatan warga. Hal ini merupakan gugatan yang mengatasnamakan kepentingan warga negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan warga negara akibat pembiaran atau kebijakan pemerintah.

WALHI NTT berpandangan, lahirnya gugatan warga negara ini akan menjadi akses bagi masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan dalam pemenuhan haknya. Negara memiliki kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Pada hakikatnya konsep gugatan warga negara berupa menggugat tanggung jawab pemerintah kerena lalai dari tanggung jawabnya dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

WALHI NTT juga menegaskan, negara harus patuh menjalankan prinsip Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 28H UUD 1945 juga tercantum bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia.

Jadi dalam konteks ini WALHI NTT menilai gugatan warga negara merupakan kesadaran hukum yang berlandaskan pada konsep etika lingkungan hidup.

Momentum Hari Bumi yang di peringati setiap 22 April menjadi pertanda dunia global khususnya negara-negara industrI yang secara masif berkontribusi terhadap krisis iklim yang saat ini dirasakan oleh umat manusia dan menyebabkan bencana alam akibat dari perubahan iklim. Bencana yang dirasakan masyarakat NTT merupakan akumulasi dari praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah terhadap lingkungan hidup.

"Tujuan dari peringatan ini ialah dalam rangka mendorong kesadaran kita sebagai salah satu bagian dari makhluk hidup yang mendiami bumi," ujarnya.

Ia mengatakan pada Hari Bumi Tahun 2024 WALHI Nusa Tenggara Timur menyoroti masalah sampah di kota Kupang yang sampai saat ini belum secara serius diselesaikan oleh pemerintah berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

"Kita mendorong pemerintah/negara untuk bertanggungjawab terhadap dampak negatif yang bersumber dari pengelolaan sampah yang buruk dan tidak berkelanjutan," katanya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kota Terkotor

Dalam catatan nasional, Kota Kupang menjadi salah satu kota terkotor di Indonesia oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bahwa model pengelolaan sampah di kota Kupang masih menggunakan sistem open dumping yang semestinya tidak diperbolehkan oleh undang-undang dan hal ini menjadi cacatan kritis WALHI NTT dalam notifikasi CLS.

Berangkat persoalan di atas, WALHI NTT menilai bahwa negara merupakan aktor penting dalam memberikan jaminan udara yang sehat dan bersih kepada warganya, namun lagi-lagi upaya ini masih jauh dari apa yang tugaskan oleh undang-undang kepada negara. Kontribusi kebijakan pembangunan yang ekploitatif telah memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan mengancam keselamatan warga.

"Sejauh apa tanggung jawab negara dan Ppemulihan lingkungan hidup?Pengaturan permasalahan lingkungan hidup di Indonesia mengalami beberapa lompatan besar sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan terakhir digantikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," jelasnya.

Salah satu yang menjadi perhatian dalam ketiga undang-undang ini adalah makin kuatnya peran negara dalam rangka menyediakan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai sarana rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Faktanya saat ini upaya negara dalam memenuhi kesejahteraan rakyat telah keluar dari substansi keseimbangan ekosistem, negara berpandangan bahwa sumber daya alam merupakan objek prioritas yang harus dimanfaatkan secara besar-besaran demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam pandangan ini negara secara “sadar” telah menciptakan persoalan baru dalam pemanfaatan sumber daya alam. Alhasil ditengah arus pertumbuhan pembangunan modern, lingkungan menjadi sasaran utama yang dieksploitasi yang berdampak pada terancamnya ruang hidup warga.

Dari persoalan sampah di kota Kupang yang sampai saat ini belum diselesaikan secara serius oleh negara menjadi acuan bagi publik bahwa sebenarnya negara telah menyimpang dari amanat undang-undang. Implementasi kebijakan pengelolaan sampah yang tidak benar mengakibatkan warga negara mendapatkan dampak buruknya.

"Inilah mengapa WALHI NTT terus memberikan atensi yang serius kepada pemerintah kota Kupang untuk senantiasa menyelesaikan persoalan sampah secara serius," tegasnya.

Ia berharap akses keadilan dan pemenuhan hak asasi akan pentingnya lingkungan yang baik dan sehat dapat terpenuhi serta menjadi pembelajaran bagi pemerintah/negara agar benar-benar peduli terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dan memastikan warga negara mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan konstitusi negara.

 

Poin Gugatan

Ada enam point notifikasi gugatan CLS terkait persoalan sampah yang menjadi kewajiban DPRD dan Wali Kota Kupang yang belum atau tidak dilaksanakan sebagai berikut:

1. Walikota Kupang tidak menjalankan kewajiban hukumnya untuk mengelola TPA Alak sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagaimana menjadi kewajibannya dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU No. 18 Tahun 2008); Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (PP No. 81 Tahun 2012); Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Permen PU No. 03 Tahun 2013); serta Pasal 22 Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Perda Kota Kupang No. 3 Tahun 2011). Tidak dikelolanya TPA Alak sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku menyebabkan terjadinya kebakaran TPA Alak secara berulang yakni pada bulan Agustus 2022, September 2022, Desember 2022, dan terakhir pada Oktober 2023.

Tidak dijalankannya kewajiban hukum untuk menyediakan dan mengelola TPA Alak sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh Walikota Kupang juga melanggar AUPB, yakni asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014), asas kemanfaatan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2014, dan asas kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf g UU No. 3 Tahun 2014.

2. Walikota Kupang tidak menjalankan kewajibannya untuk menutup TPA Alak yang menggunakan sistem penimbunan terbuka (open dumping) sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2008; Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 81 Tahun 2012; dan Pasal 61 ayat (1) Permen PU No. 03 Tahun 2013. Padahal, UU No. 18 Tahun 2008 telah memerintahkan daerah untuk menutup TPA dengan sistem penimbunan terbuka lima tahun sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2008, namun lima belas tahun sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2008, TPA Alak masih beroperasi dengan menggunakan sistem penimbunan terbuka.

Tidak dijalankannya kewajiban di dalam peraturan perundang-undangan untuk menutup TPA Alak oleh Walikota Kupang juga melanggar AUPB, yakni asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2014, asas kemanfaatan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2014, dan asas kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf g UU No. 3 Tahun 2014.

3. Walikota Kupang tidak menjalankan kewenangannya untuk menyusun, menetapkan, dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f UU No.18 Tahun 2008; serta Pasal 6 ayat (1) huruf f dan Pasal 31 Perda Kota Kupang No. 3 Tahun 2011. Tidak tersedianya sistem tanggap darurat pengelolaan sampah ini menyebabkan terjadinya kebakaran TPA Alak secara berulang yakni pada bulan Agustus 2022, September 2022, Desember 2022, dan terakhir pada Oktober 2023 yang mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan bagi warga yang tinggal di sekitar TPA Alak.

Tidak dijalankannya kewajiban untuk menyusun, menetapkan, dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah oleh Walikota Kupang juga melanggar AUPB, yakni asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2014 dan asas kecermatan sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 3 Tahun 2014.

4. Walikota Kupang tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan inventarisasi emisi gas rumah kaca dari sektor limbah berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 12 huruf b Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres No. 98 Tahun 2021).

Tidak dijalankannya kewajiban untuk melakukan inventarisasi emisi gas rumah kaca dari sektor limbah juga melanggar AUPB yakni asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2014 dan asas kemanfaatan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2014.

5. Walikota Kupang dan DPRD Kota Kupang tidak menjalankan kewajibannya untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terkhusus kegiatan pengelolaan sampah di Kota Kupang berdasarkan Pasal 45 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009).

Tidak dijalankannya kewajiban untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup oleh Walikota Kupang dan DPRD Kota Kupang juga melanggar AUPB yakni asas kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf g UU No. 30 Tahun 2014.

6. DPRD Kota Kupang tidak menjalankan tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; terutama Perda Kota Kupang No. 3 Tahun 2013, Permen PU No. 3 Tahun 2013, PP No. 81 Tahun 2012, UU No. 32 Tahun 2009, UU No. 30 Tahun 2014, dan UU No. 18 Tahun 2008 berdasarkan Pasal 153 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014).

Tidak dijalankannya kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota oleh DPRD Kota Kupang juga melanggar AUPB yakni asas kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf g UU No. 30 Tahun 2014.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya