Asal-usul Gelar Haji di Indonesia, Kebijakan Politis Kolonial yang Bertahan hingga Kini

Gelar haji di Indonesia adalah sebuah tradisi yang sarat akan nilai sejarah.

oleh Tifani diperbarui 28 Mei 2024, 05:00 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2024, 05:00 WIB
Haji.
Ilustrasi pasangan suami dan istri naik haji. (Foto: Shutterstock)

Liputan6.com, Yogyakarta - Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima bagi umat muslim. Berbeda dari negara lain, orang Indonesia kerap menyematkan gelar haji atau Hajjah di depan nama orang setelah menjalankan ibadah haji.

Gelar haji di Indonesia adalah sebuah tradisi yang sarat akan nilai sejarah. Di balik penggunaan gelar ini, terdapat perpaduan erat antara nilai-nilai budaya lokal dan strategi kolonial Belanda.

Dikutip dari berbagai sumber, sejarah gelar haji bermula sejak zaman kolonial Belanda populer pada 1916. Asal-usul gelar haji bermula pada kekhawatiran penjajah akan pemberontakan pribumi seiring dengan semakin berkembangnya agama Islam.

Mulanya, para kiai tidak ada yang bergelar haji, karena haji adalah prosesi ibadah dengan datang beribadah ke Tanah Suci. Namun rupanya, para tokoh yang kembali dari ibadah haji dianggap sebagai orang suci di tengah-tengah masyarakat Jawa kala itu.

Saat itu, orang-orang yang baru kembali dari ibadah haji akan lebih didengarkan pendapatnya oleh masyarakat dan penduduk awam lainnya. Para penjajah menilai hal tersebut cukup berbahaya.

Mereka menganggap ajaran Islam yang dibawa oleh para haji itu yang dapat memantik pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda di akar rumput. Aqib Suminto dalam buku Politik Islam Hindia Belanda (1986) menyebut, pikiran seperti ini pertama muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada 1810-an.

Kala itu, pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan itu berpikir bahwa penduduk pribumi yang pulang haji kerap menghasut rakyat untuk memberontak. Alhasil, Daendels meminta para jamaah itu untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.

 

Hindia Dijajah Inggris

Pemikiran seperti ini juga muncul saat Hindia dijajah Inggris. Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles dalam catatannya berjudul History of Java (1817), terang-terangan "menyerang" orang pergi haji.

Kemudian, kebijakan politis haji diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.

Lewat mekanisme ini, pemerintah Hindia-Belanda akan melakukan serangkaian ujian. Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan mencantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama.

Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih. Peraturan ini diperkuat dengan kebijakan Staatsblad yang dikeluarkan Hindia-Belanda pada 1903.

Pada saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia terus menguat. Hal ini dilakukan oleh aktivis-aktivis Islam pada saat itu.

Semakin kuatnya pengaruh tokoh-tokoh Islam yang baru kembali ibadah haji di Tanah Suci, membuat pemerintah kolonial Belanda mulai waspada. Saat itu Islam telah berkembang menjadi salah satu kekuatan anti-kolonialisme di Indonesia.

Terlebih banyaknya organisasi-organisasi Islam. Hal itu dimulai dari KH Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912.

Kemudian KH Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama (1926), Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (1905), dan Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam (1912). Berdirinya organisasi-organisasi Islam tersebut kemudian dianggap mengkhawatirkan pihak Hindia Belanda.

Kemudian, Belanda mewajibkan penggunaan gelar haji bagi seluruh masyarakat pribumi yang pergi ke Tanah Suci sejak 1916. Tujuannya agar lebih mudah dalam melakukan pengawasan bagi para jemaah haji yang diduga akan mencoba memberontak.

Kebiasaan menyematkan gelar haji tersebut berlangsung hingga saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya