Liputan6.com, Bandung - Delapan anak muda akan mewakili Indonesia dalam ajang sepak bola jalanan internasional, Homeless World Cup (HWC) 2024 di Seoul, Korea Selatan, tanggal 21-28 September mendatang.
Turnamen itu akan mempertemukan anak muda dari sejumlah negara untuk saling bertanding menunjukkan talentanya masing-masing, sekaligus menyuarakan pesan sosial soal inklusi dan pemberdayaan kaum marginal kepada dunia.
Baca Juga
Manajer Tim Homeless Indonesia, Rin Aulia menyebut, delapan pemain yang akan mewakili Indonesia adalah Muhammad Nur Ilyasa (24), Muhammad Ramdhan (21), Adis Fikri (26), Algin Mawani (20), Bagus Abdul Hadzi (21), Ery Dwiantono Riyadi (25), Oka Oktavian (30), dan Willy Nurcahya (24).
Advertisement
Perempuan yang akrab disapa Ii itu menyampaikan, para pemain berasal dari kelompok masyarakat yang rentan terhadap isu tunawisma seperti kelompok miskin kota, ODHIV, serta konsumen NAPZA (narkotika psikotropika dan zat adiktif).
Tim Homeless Indonesia membawa spirit Indonesia Tanpa Stigma, serta cita-cita "keadilan sosial untuk seluruh masyaraka Indonesia," kata Ii saat peluncuran Tim Homeless Indonesia di Ruang Komunitas, Rumah Cemara, Jalan Gegerkalong Girang, Nomor 52, Bandung, Minggu 25 Agustus 2024, diikuti Liputan6.com lewat siaran daring.
Turnamen tahunan yang dimulai pada 2003 oleh Homeless Foundation ini sejak mula telah jadi platform global yang berupaya turut meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan positif di komunitas-komunitas yang paling rentan di seluruh dunia.
"Memang tidak ada pengertian yang baku tentang homeless, tiap negara punya definisi masing-masing, tapi memang ada kedekatan isu yang bersinggungan seperti pengguna NAPZA, masyarakat berpenghasilan rendah, orang dengan HIV/Aids dan isu perempuan juga masuk isu yang rentan ini," imbuh Ii.
Tahun ini, HWC digelar di Hanyang University, Seoul, Korea Selatan. Tim Homeless Indonesia akan berkompetisi dengan 49 negara lainnya, seperti Meksiko, Chile, Portugal, dan Brazil.
Persiapan Tim
Pelatih Kepala Tim Homless Indonesia, Aulia Rahman menyampaikan, para pemain yang terpilih dalam timnya telah melalui dua tahap proses seleksi dan persiapan yang intensif.
"Dimulai sejak 8 Mei, ada pengondisian fisik dan taktikal di bulan Juni kemarin. Sudah masuk 4 bulan walaupun tidak setiap hari latihan. Mereka sudah bekerja keras untuk itu, mereka bisa mengikuti pola latihan dengan baik," katanya.
Dengan persiapan yang lebih matang dan dukungan yang lebih kuat, tim ini bertekad untuk mencapai prestasi yang lebih baik, dan diharapkan dapat mengukir sejarah baru bagi Indonesia di kancah internasional.
Tim pelatih saat ini terdiri dari Aulia Rahman (kepala pelatih), Ujang Yakub (pelatih kipper), Pinsa Prahadian (asisten pelatih 1) dan Oka Setiawan (asisten pelatih 2). Target utama Tim Homeless Indonesia 2024 adalah memperbaiki peringkat dari kompetisi sebelumnya.
"Targetnya lebih baik dari tahun kemarin, masuk ke 8 besar," katanya.
Perjuangan mereka bukan hanya untuk meraih kemenangan, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa semangat juang dan dedikasi mampu mengatasi segala rintangan, terlepas dari latar belakang sosial yang mereka miliki.
Perwakilan pemain, Oka Oktavian menyampaikan, sejauh ini mereka bisa mengikuti proses latihan dengan baik. Meski beberapa yang lain mengaku ada yang mesti meyesuaikan dan mengatur waktu dengan kondisi dan kesibukan sehari-hari.
Disinggung soal stigma yang masih kerap ditujukan kepada, Oka mengatakan, stigma itu tidak dirasakan selama proses di Tim Homeless. Kendati, di kehidupan sehari-hari stigma terhadap kelompok-kelompok seperti penggunan napza atau ODHIV masih terjadi.
"Kalau stigma terhadap kita saat latihan tidak ada, tapi di luar latahin di kehidupan sehari-hari pasti selalu ada, namanya orang mungkin karena sosialisasi terkait pengguna narkoba atau ODAHIV itu belum menyeluruh, mungkin memang belum semua bisa menerima orang yang termarginalkan seperti saya pribadi," katanya.
"Kalau saya bertemu dengan orang seperti itu ya tentunya melakukan sosialisasi dengan pendekatan argumentatif yang bisa diterima, bagaimana caranya dia berubah pola pikirnya, karena tidak selalu orang seperti kami itu seperti apa yang mereka pikirkan dalam konotasi negative," lanjutnya.
Advertisement
Bersama Rumah Cemara
Indonesia pertama kali mengirimkan timnya pada 2011 lalu melalui Rumah Cemara sebagai National Organizer. Tahun lalu, Tim Homeless Indonesia berhasil menduduki posisi 17 dunia dengan membawa pulang piala Lassen Peak Award serta penghargaan pelatih terbaik pada HWC 2023 di Sacramento, Amerika Serikat.
Manajer Program Rumah Cemara, Ardhany Suryadarma, berharap Tim Homeless Indonesia bisa berangkat dan meraih prestasi, menunjukan kepada dirinya dan negara bahwa siapapun dengan konsistensi serta kesempatan yang sama baik pendidikan, pelatihan dan ruang bermain itu dapat menjadi dirinya yang terbaik.
"Tim yang dikirim ini bukan hanya punya isu sosial saja tapi memang punya kualitas," kata Ardhany Suryadarma atau kerap disapa Achiel.
Sejak awal, kata Achiel, Rumah Cemara selalu membuka diri terhadap berbagai orang dengan ragam isu sosial dan kerentanannya masing-masing, sesuai dengan spirit yang mereka jaga dan upayakan yakni turut berkontribusi atas spirit Indonesia tanpa stigma.
"Karena itu latar belakang pemain yang diambil beragam latar belakang isu, ada orang dengan hiv/aids, narkotika. Kami membuka kesempatan yang sama sebagaiaman mereka bisa konsisten dan menunjukan diri, membuka ruang kepada orang yang termarjinalkan," kata Achiel.
Dirujuk dari laman rumahcemara.or.id, Rumah Cemara sendiri menempatkan diri sebagai organisasi non-pemerintah di Bandung yang berjuang menghapus stigma terhadap konsumsi obat-obatan dan orang-orang dengan HIV.
Melalui penyebarluasan informasi yang berlandaskan bukti-bukti ilmiah, Rumah Cemara sekaligus turut menggalang dukungan publik dalam perumusan kebijakan yang objektif dalam hal konsumsi obat-obatan dan pelayanan bagi orang-orang dengan HIV.
Sejak beroperasi secara resmi di hari pertama 2003, Rumah Cemara menyajikan program pelayanan bagi orang-orang yang bermasalah dengan konsumsi obat-obatan.
Para pendiri sekaligus pekerja program di Rumah Cemara belajar, bahwa satu pendekatan tidak mungkin cocok bagi semua orang. Karenanya, sebagai sebaya konsumen obat-obatan dan orang dengan HIV, kami senantiasa menerapkan berbagai pendekatan yang memungkinkan kami untuk tumbuh berkembang serta berguna bagi masyarakat.