Pemerintah Diminta Atasi Deflasi, Ekonom UGM Paparkan Alasan Kuat

Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan sejak Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 mencatat deflasi sebesar 0,12% (mtm) sementara Agustus 2024 sebesar 0,03%.

oleh Yanuar H diperbarui 07 Nov 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2024, 18:00 WIB
Infografis Deflasi 5 Bulan Beruntun di Indonesia. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Deflasi 5 Bulan Beruntun di Indonesia. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Liputan6.com, Yogyakarta - Ekonom UGM Yudistira Hendra Permana memprediksi kondisi deflasi di Indonesia akan terus berlanjut hingga akhir tahun nanti, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menelaah lebih lanjut faktor penyebab dan mengetahui efek jangka pendek dan panjang deflasi untuk memahami situasi penurunan harga secara umum.

Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis dari Fakultas Sekolah Vokasi ini mengakui meski masih ada pro dan kontra mengenai deflasi yang hanya dipahami dimana harga barang dan jasa lebih murah daripada sebelumnya dan konsumen diuntungkan. Padahal, deflasi mengindikasi daya beli masyarakat yang menurun dan produsen terpaksa menurunkan harga jual. “Hal-hal tersebut juga diperparah dengan penurunan penerimaan pajak karena penurunan aktivitas ekonomi, termasuk adanya risiko pengangguran,” kata Yudistira dalam Sekolah Wartawan yang bertajuk Deflasi di Indonesia: Analisis, Dampak dan Dinamika Pasar yang berlangsung di ruang Fortakgama, Gedung Pusat UGM, Kamis 31 Oktober 2024.

Ia menyebut ada beberapa kelompok yang terkena dari deflasi ini. Beberapa segmen yang terkena dampak dari deflasi ini dari petani, nelayan dan pelaku UMKM. “Yang kena petani, nelayan, dan umkm bermain di barang kebutuhan pokok tadi,” katanya.

Menurutnya kondisi ini harus dikendalikan jika tidak, ia memprediksi penerimaan pajak yang ditargetkan pemerintah jelas akan turun karena aktivitas dan daya beli masyarakat yang menurun, ditambah gelombang PHK akhir-akhir ini. “Resiko dari deflasi adalah urusan pajak, jika aktivitas dan daya beli melemah, siapa yang akan akan jor-joran spending? PPN dan PPh akan turun,” katanya.

Pemerintah diminta untuk mengevaluasi lagi bidang kebijakan moneter dan fiskal. Sebab menurutnya pemerintah harus mengevaluasi beberapa proyek yang menurutnya salah langkah sehingga hanya sia-sia belaka dan berdampak pada pendanaan negara yang tidak bermanfaat. “Dalam hal ini, pemerintah seharusnya bisa memilih dan memilah mana proyek yang tidak mengganggu kestabilan ekonomi,” ujar Ketua Prodi Manajemen dan Penilaian Properti, Fakultas Sekolah Vokasi tersebut.

Lebih lanjut dia mengingatkan pemerintah jika deflasi seperti terjadi secara berkepanjangan, maka ada risikonya ancaman krisis ekonomi. Pasalnya lambat laun harga bahan pokok pangan akan kian mahal sedangkan kemampuan konsumen untuk membeli sangat rendah.

Guna mengatasi kondisi deflasi ini, Yudistira berharap institusi pengendali mampu meningkatkan agregat demand dengan kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penaungan bisnis serta proyek yang tidak salah arah. Sehingga perluk kebijakan yang mampu mendorong kemampuan daya beli masyarakat kian meningkat. “Penurunan kemampuan daya beli masyarakat ini akibat tekanan ekonomi, meski kurs rupiah stabil dan kuat, namun kemampuan daya beli masyarakat yang melemah, tetap saja barang yang dibeli terasa mahal,” ujarnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya