Siap-Siap Sengketa Pilkada, Ini Penjelasan Akademisi

Bagi pihak yang kalah, biasanya kuasa hukum mereka akan panik di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, terkadang mereka menghadirkan gosip sebagai alat bukti. Padahal, namanya juga gosip, bagaimana bisa dibuktikan.

oleh Novia Harlina diperbarui 24 Nov 2024, 17:49 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2024, 15:33 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi, Andi Muhammad Asrun.
Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi, Andi Muhammad Asrun.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi, Andi Muhammad Asrun, mengungkapkan sejumlah pola yang sering terjadi dalam sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Bagi pihak yang kalah, biasanya kuasa hukum mereka akan panik di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, terkadang mereka menghadirkan gosip sebagai alat bukti. Padahal, namanya juga gosip, bagaimana bisa dibuktikan?" ujar Asrun.

Ia mengatakan hal itu dalam acara Bimbingan Teknis dan Pembekalan bagi Para Advokat dalam Menghadapi Perselisihan Hasil Pilkada 2024 di Jakarta, Kamis (21/11).

Kegiatan yang berlangsung hingga Jumat (22/11) ini diselenggarakan oleh Law Office Josua Victor & Partners serta Suryantara, Alfatah & Partners. Acara tersebut diikuti oleh sekitar 50 advokat dari berbagai wilayah di Indonesia.

Asrun menjelaskan bahwa kuasa hukum pemohon sering kali menuruti keinginan pasangan calon yang kalah demi memenuhi prinsip gugur kewajiban.

"Mereka juga gencar menarasikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) meski minim alat bukti. Semua itu hanya untuk memberi kesan dramatis," katanya.

Di sisi lain, lanjut Asrun, kuasa hukum penyelenggara pemilu sebagai termohon harus bersikap tenang dan teliti dalam menangani setiap detil.

Ketelitian diperlukan untuk menilai kelayakan suatu permohonan, baik dari sisi kewenangan, tenggat waktu, ambang batas, surat kuasa, pokok permohonan, hingga persentase perolehan suara.

"Begitu ada yang tidak sesuai, ajukan eksepsi tanpa ragu. Masalah seperti ini sering terjadi. Misalnya, ada perkara untuk daerah X, tetapi isi permohonannya justru tentang daerah Y. Hal ini biasanya terjadi karena kuasa hukum pemohon menangani banyak perkara sekaligus dan hanya menyalin berkas sebelumnya," jelasnya.

Dalam eksepsi, sambung Asrun, kuasa hukum termohon harus memaparkan kelemahan permohonan secara lugas dan terarah.

"Jangan berlomba-lomba mengutip teori atau pendapat yang tidak relevan hanya untuk terlihat pintar. Langsung fokus ke pokok masalah agar hakim mudah memahami dan bisa langsung menyatakan dismissal," tegasnya.

Sementara itu, kuasa hukum pihak terkait memiliki tugas yang relatif lebih ringan karena sebagian besar beban akan diselesaikan oleh kuasa hukum penyelenggara pilkada.

Pada kesempatan yang sama, Hakim MK periode 2019–2024, Wahiduddin Adams, menekankan pentingnya mempersiapkan alat bukti yang sah dan valid. Bukti harus disusun dengan rapi di daftar bukti, lengkap dengan dokumen fisiknya.

"Misalnya, jika hendak mengklaim terjadi penggelembungan suara, harus jelas di TPS mana, oleh siapa, dan berapa jumlah suaranya. Semuanya harus dilengkapi dengan form C1," ujarnya.

Penyusunan alat bukti yang terarah, menurut Wahiduddin, akan sangat membantu hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus permohonan sengketa pilkada.

 

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya