Hidroponik Rakit Apung, Solusi Petani Sayur Gorontalo Hadapi Kemarau 2025

Temukan bagaimana petani di Bone Bolango menggunakan hidroponik rakit apung sebagai solusi cerdas menghadapi musim kemarau. Mudah, hemat biaya, dan efektif!

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 16 Jan 2025, 22:00 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2025, 22:00 WIB
Hidroponik Rakit Apung
Hidroponik rakit apung sebagai solusi cerdas menghadapi musim kemarau. Mudah, hemat biaya, dan efektif (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Gorontalo - Sistem hidroponik rakit apung atau yang dikenal dengan Deep Film Technique (DFT), menjadi solusi efektif bagi para petani di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo mengatasi tantangan musim kemarau 2025.

Metode ini memungkinkan tanaman tumbuh di atas larutan nutrisi dengan bantuan rakit apung, sehingga risiko kekeringan dapat diminimalkan.

Metode ini dinilai sederhana dan praktis. Sebab, jika ditanam di tanah, petani sayur sulit memantau nutrisi. Kadang daun tiba-tiba menguning.

"Dengan rakit apung, takaran nutrisi bisa diatur secara presisi," ujar Aksan, salah satu pelaku usaha hidroponik di Bone Bolango.

Biaya pembuatan sistem ini relatif terjangkau. Menurut Aksan, hanya dibutuhkan kolam penampungan air, styrofoam, netpot, dan rockwool.

Berbeda dengan instalasi hidroponik lainnya, rakit apung tidak memerlukan banyak alat tambahan.

“Perawatannya pun lebih mudah. Cukup dengan menguras dan membersihkan kolam secara berkala,” tambahnya.

Namun, metode ini memiliki tantangan tersendiri. Salah satu kendala utama adalah risiko pembusukan akar akibat paparan air secara terus-menerus.

Untuk mengatasi masalah ini, Aksan menyarankan memilih tanaman yang tahan terhadap air, seperti kangkung, selada, dan pakcoy.

"Selain itu, kadar oksigen dalam air dapat ditingkatkan dengan menambahkan aerator," jelasnya.

Kebutuhan air yang besar juga menjadi pertimbangan penting. Sistem rakit apung memerlukan air dalam jumlah konstan untuk menjaga ketersediaan nutrisi.

Oleh karena itu, manajemen air yang baik sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan metode ini.

Di tengah tantangan perubahan iklim, hidroponik rakit apung menjadi alternatif cerdas bagi para petani di Bone Bolango.

Selain mudah diaplikasikan, metode ini memberikan solusi yang efisien dalam menjaga keberlanjutan hasil pertanian, khususnya di musim kemarau.

Prakiraan Cuaca 2025

Kemarau Panjang Akibat El Nino
Penggembala kambing beristirahat di sawah yang kering akibat kemarau di kawasan Sirnajati, Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat, Senin (21/8/2023). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan, musim kemarau tahun ini akan lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022. (merdeka.com/Arie Basuki)... Selengkapnya

Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menyarankan, sejumlah rekomendasi umum untuk sektor-sektor terkait atau terdampak oleh fenomena iklim tahun 2025.

Diantaranya terkait curah hujan tahun 2025 yang mayoritas diprediksi mengalami kondisi curah hujan normal hingga atas normal, sangat cocok untuk mendukung upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra pangan.

Untuk perkecualian daerah sentra produksi pangan yang diprediksi mengalami hujan bawah normal, kata Ardhasena, masih dapat melakukan tindakan antisipasi penyesuaian pengelolaan aktivitas pertanian dengan penyesuaian pola tanam dan ketersediaan air, serta disarankan untuk melakukan pemilihan bibit komoditas yang lebih sesuai dengan kondisi tersebut.

“Dengan upaya dukungan intensifikasi seperti irigasi dan upaya pendukung lainnya, wilayah sentra produksi pangan tersebut masih berpotensi menghasilkan produktivitas tanaman pangan yang baik,” tuturnya.

Sedangkan untuk wilayah yang terdapat potensi jumlah curah hujan tahunan 2025 melebihi rata-ratanya atau di atas kondisi normalnya, lanjut Ardhasena, maka perlu diantisipasi potensi kejadian hidrometeorologi ekstrem basah dan dampak turunannya seperti banjir dan tanah longsor, khususnya pada puncak musim hujan.

Langkah antisipatif juga diperlukan untuk wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal yang dapat memicu kekeringan dan dampak lanjutannya berupa kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada puncak musim kemarau.

Perlu meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir. Seperti penyiapan kapasitas pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air, agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir.

"Selain itu juga perlu dipastikan kehandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaannya sumber daya air di saat musim kemarau,” ia menandaskan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya