Sektor Tambang Hambat Penguatan IHSG Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,26 persen dari posisi 5.857 pada 8 September menjadi 5.872 pada 15 September 2017.

oleh Agustina Melani diperbarui 16 Sep 2017, 09:00 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2017, 09:00 WIB
 IHSG 30 Mei 2017 Ditutup Melemah 0,33 Persen
Karyawan memerhatikan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Mandiri Sekuritas, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penguatan selama sepekan. Penguatan IHSG didorong saham kapitalisasi kecil dan menengah.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (16/9/2017), IHSG naik 0,26 persen dari posisi 5.857 pada 8 September 2017 menjadi 5.872 pada 15 September 2017.

Saham-saham unggulan masuk indeks saham LQ45 cenderung mendatar dengan naik 0,02 persen. Sektor saham kapitalisasi kecil dan menengah malah naik signifikan.

Sektor saham tambang turun 5,9 persen seiring sektor saham tersebut sensitif dengan berita dan kabar mengenai harga batu bara domestik pada pekan ini. Hal itu membuat saham-saham unggulan performanya kurang baik. Investor asing pun masih mencatatkan aksi jual di pasar saham. Tercatat aksi jual mencapai US$ 125 juta selama sepekan.

Sementara itu, di pasar surat utang atau obligasi, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun menjadi 6,5 persen pada pekan ini. Adanya aksi ambil untung mempengaruhi pasar obligasi.

Adapun sentimen-sentimen yang pengaruhi pasar keuangan antara lain, dari Amerika Serikat, rilis data inflasi mengalahkan harapan. Inflasi Agustus naik menjadi 1,9 persen secara year on year (YoY).

Inflasi menguat didorong tingginya harga gas dan biaya sewa. Harga minyak juga cenderung naik usai Badai Harvey. Hal itu lantaran kilang sempat tutup.

Inflasi cenderung naik tersebut mendorong spekulasi adanya pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Ekonom juga mengharapkan the Federal Reserve atau the Fed mengumumkan rencana mengurangi portofolio surat berharga US$ 4,2 triliun pada pertemuan 19-20 September 2017.

Selain itu, hasil pertemuan bank sentral Inggris atau Bank of England menetapkan suku bunga stabil di kisaran 0,25 persen. Pelaku pasar perkirakan bank sentral Inggris akan menaikkan suku bunga pada pertemuan selanjutnya.

Sementara itu, rilis data ekonomi China kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekspor China berada di bawah harapan pasar seiring permintaan global melambat. Akan tetapi, impor China meningkat didorong kenaikan permintaan investasi dalam negeri.

Selain itu, risiko geopolitik juga membayangi prediksi ekonomi global. Diperkirakan permintaan produk China melambat. Meski demikian, permintaan dalam negeri cenderung stabil akan imbangi permintaan lambat dari global.

Sedangkan sentimen dalam negeri yaitu sektor saham tambang tertekan. Hal itu seiring ada kabar pemerintah akan mengatur harga batu bara domestik.

Akan tetapi, pemerintah menyatakan terlebih dulu diskusi dan membahas soal harga batu bara dengan pelaku industri sebelum mengeluarkan aturan. Oleh karena itu, sektor saham tambang dapat kembali pulih usai tertekan hingga mencapai empat persen pada Rabu 13 September 2017.

Sentimen lainnya rilis cadangan devisa Indonesia menjadi angin segar untuk pasar saham. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa tercatat US$ 128,8 miliar pada Agustus dari periode Juli 2017 sebesar US$ 127,7 miliar.

Kenaikan cadangan devisa didorong dari penerimaan pajak minyak dan gas. Cadangan devisa itu setara dengan 8,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Bank sentral melihat cadangan cukup untuk memastikan ketahanan dari sentimen eksternal dan pertumbuhan ekonomi berlanjut.

Kemudian apa yang perlu dicermati ke depan?

Salah satunya pasar obligasi atau surat utang. Imbal hasil obligasi mencapai rekor terendah dalam lima tahun. Tercatat imbal hasil obligasi mencapai 6,3 persen pada pekan ini usai investor asing tetap yakin terhadap potensi penurunan suku bunga masih berlanjut.

Imbal hasil obligasi diperkirakan akan terkoreksi menjadi 6,5 persen. Ashmore melihat, pasar obligasi masih berpotensi hadapi risiko dalam jangka pendek. Namun, salah satu kunci obligasi tetap menguat yaitu inflasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya