Wall Street Beragam, Saham Apple Picu Indeks Nasdaq Kembali Catat Rekor

Wall street ditutup beragam pada perdagangan Senin, 25 Januari 2021 dengan indeks saham S&P 500 dan Nasdaq cetak rekor.

oleh Agustina Melani diperbarui 26 Jan 2021, 06:34 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2021, 05:50 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street bervariasi pada penutupan perdagangan Senin waktu setempat. Indeks saham S&P 500 dan Nasdaq menguat sehingga sentuh rekor baru didorong investor bersiap untuk hadapi laporan keuangan terutama dari perusahaan teknologi besar.

Pada penutupan wall street, Senin, 25 Januari 2021, indeks saham S&P 500 menguat 0,4 persen ke posisi 3.855,36. Indeks saham Nasdaq naik 0,7 persen ke posisi 13.635,99. Sedangkan indeks saham Dow Jones merosot 36,98 poin atau 0,1 persen ke posisi 30.960.

Pada pekan ini, 13 perusahaan di indeks Dow Jones dan 111 perusahaan di indeks S&P 500 akan melaporkan pendapatannya. Laporan kuartalan termasuk Apple, Microsoft, Netflix, Tesla, McDonald’s, HoneyWell, Caterpillar dan Boeing.

Saham Apple naik 2,8 persen ke level tertinggi sepanjang masa sebelum laporan kuartalan pada Rabu. Tesla juga akan melaporkan kinerja pada Rabu. Saham Tesla naik 4 persen sehingga sentuh rekor.

Wall street mengantisipasi hasil yang kuat dari Apple pada Rabu setelah bel. Diharapkan mengalahkan perkiraan. Wall street memperkirakan penjualan 220 juta unit iPhone pada 2021, kami percaya berpotensi penjualan 240 juta unit,” ujar Analis Wedbush, Dan Ivest, seperti dilansir dari CNBC, Selasa (26/1/2021).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Rilis Kinerja Keuangan

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Director of Trading Floor Operations Fernando Munoz (kanan) saat bekerja dengan pialang Robert Oswald di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Di sisi lain, tindakan spekulatif di saham seperti GameStop membuat takut beberapa investor menyebabkan kekhawatiran kalau pasar telah terlepas dari fundamental dan menyebabkan tekanan lebih luas ketika berakhir. Saham GameStop melonjak 140 persen ke posisi di atas USD 150 seiring investor ritel aktif untuk mendorong penjual jangka pendek.

Saham GameStop sempat melemah sehingga akhirnya ditutup menguat 18 persen lebih tinggi. Saham-saham lainnya seperti Bed Bath and Beyond juga melonjak di tengah hiruk pikuk pembelian.

Selain itu, perusahaan mulai merilis laporan kinerja keuangan dengan catatan kuat. Dari komponen indeks S&P 500 yang telah melaporkan pendapatan, 73 persen mengalahkan penjualan dan EPS. Hal itu berdasarkan data dari Bank of America.

Wall Street mencatat kenaikan di tengah kekuatan sektor teknologi. Pada pekan lalu, indeks saham Dow Jones dan S&P 500 masing-masing naik 0,6 persen dan 1,9 persen. Indeks saham Nasdaq menguat 4,19 persen pada pekan lalu didorong saham perusahaan teknologi besar.

Stimulus COVID-19 oleh Presiden AS Joe Biden Jadi Sentimen Positif

Joe Biden dan Kamala Harris Resmi Pimpin Amerika Serikat
Presiden Joe Biden berbicara selama Pelantikan di US Capitol di Washington, Rabu (20/1/2021). Joe Biden mengalahkan Donald Trump di pemilu AS 2020 dengan perolehan 81 juta suara. (AP Photo/Patrick Semansky, Pool)

Adapun Presiden AS Joe Biden melalui program stimulus USD 1,9 triliun juga memberikan sentimen positif untuk pasar.Sementara itu, kasus COVID-19 juga terus meningkat di Amerika Serikat dan luar negeri. Akan tetapi, ekonom memperkirakan pemulihan ekonomi dapat terjadi pada akhir 2021.

“Kami terus berharap bahwa pengurangan risiko COVID-19 dengan vaksinasi massal, ditambah dengan dukungan fiskal untuk belanja konsumen akan menyebabkan ledakan konsumsi pada tengah tahun dan pertumbuhan sangat kuat pada 2021,” ujar Ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius.

Namun, perusahaan mencatat sementara risiko bantuan fiskal tidak mencukupi sekarang terlihat kecil kemungkinannya. Risiko lain tetap ada.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya