Liputan6.com, Jakarta - Mengalami pertumbuhan saat masa pandemi, saham menjadi salah satu tepat investasi yang banyak dipilih masyarakat secara global, tak terkecuali di Indonesia.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah investor baru yang tercipta sepanjang 2020 tumbuh 53,47 persen dari total jumlah investor pada 2019.
Baca Juga
Jumlah investor saham telah mencapai 1.695.268 single investor identification (SID) pada akhir 2020. Terdapat pertumbuhan sebanyak 590.658 SID jika dibandingkan dengan total jumlah investor saham pada akhir 2019 yang mencapai 1.104.610 SID.
Advertisement
Investor baru tersebut pun didominasi oleh generasi milenial dengan rentang usia 18-30 tahun yang mencapai 411.480 SID atau 70 persen dari total investor baru 2020.
Pengamat Pasar Modal dan Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menyebut, pertumbuhan investor pada 2020 meningkat hingga 53 persen. Oleh karena itu pengaruh investor ritel di Indonesia saat ini cukup besar.
"Besar, dari bulan November, Oktober, transaksi ritel naik terus, tahun lalu investor ritel di tahun 2020 naik 53 persen. Tahun ini jumlah investor kita mungkin sudah 4 jutaan. Dan transaksi pasar sudah cukup banyak di dominasi oleh retail," kata Hans kepada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).
Meski demikian, Ia menyebut, investor ritel yang ada saat ini bersikap labil dan lebih kepada pengaruh lingkungan serta media sosial. "Tapi retail itu, labil, cepat terombanng ambing, kalau lagi panik dia jual jual semua, kalau optimis beli beli semua," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Imbauan kepada Investor
Hans juga memberikan imbauan agar investor selalu mempelajari terlebih dahulu saham yang hendak dibeli agar tak mengalami kerugian. Jangan sampai membeli saham hanya karena ingin ikut-ikutan orang lain.
"Mereka harus mengetahui dengan persis alasan mereka membeli saham itu, jadi memahami fundamental perusahaan, mengetahui prospek perusahaan ke depan apa, sehingga mereka yakin saham yang dibeli perusahaannnya bagus," tuturnya.
Investor yang hanya ikut-ikutan dan tak memahami secara benar kinerja pasar modal, bisa saja mengalami kerugian.
"Ikut ikutan potensinya menderita kerugian. Jadi saham bisa naik kencang, tapi saat pasarnya goyang, orang khawatir orang jual semua jatuh, jadi sebagian besar nasabah rugi," tuturnya.
Advertisement