Strategi Investasi Ketika Ekonomi AS Mulai Pulih

Pada pekan ini, bursa saham global juga hadapi rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS). Inflasi AS tercatat 2,6 persen pada Maret 2021, secara year on year.

oleh Agustina Melani diperbarui 18 Apr 2021, 21:04 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2021, 21:04 WIB
20151112--Investor-Summit-2015-Jakarta-AY
Pekerja menunjukan data pasar modal saat pameran Investor Summit 2015 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/11/2015). Investor Summit diselengarakan sebagai upaya agar masyarakat Indonesia paham tentang pasar modal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu bergerak perkasa pada pekan ini. IHSG menguat 0,26 persen pada periode 12-16 April 2021.

Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG berada di posisi 6.086,25 pada pekan ini dibandingkan pekan lalu di posisi 6.070,20. Hal ini juga mendorong kapitalisasi pasar saham menguat selama sepekan. Kapitalisasi pasar saham tercatat naik 0,44 persen menjadi Rp 7.205,77 triliun dari penutupan pekan lalu di kisaran Rp 7.174 triliun.

Investor asing melakukan aksi beli saham pada pekan ini. Tercatat aksi beli investor asing mencapai USD 60 juta atau sekitar Rp 874,34 miliar (asumsi kurs Rp 14.572 per dolar AS). Hal itu berdasarkan data Ashmore Asset Management Indonesia, dikutip Minggu (18/4/2021).

Dengan demikian, sepanjang tahun berjalan 2021, investor asing mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp 9,73 triliun.

Pada pekan ini, bursa saham global juga hadapi rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS). Inflasi AS tercatat 2,6 persen pada Maret 2021, secara year on year.

Inflasi sebelumnya dikhawatirkan membawa imbal hasil obligasi lebih tinggi. Namun, hal itu tidak terlalu berpengaruh. Sejak pengumuman inflasi, imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun turun menjadi 1,5-1,6 persen dari sebelumnya 1,6 persen-1,7 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Apa Artinya bagi Negara Berkembang?

FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Pada hari ini, IHSG melemah pada penutupan sesi pertama menyusul perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ada sejumlah faktor yang mempengaruhinya seperti pembukaan kembali ekonomi belum terlalu signifikan. Selain itu, ada potensi tekanan margin dan biaya dalam waktu dekat. Di sisi lain, faktor inflasi juga membuat bank sentral AS atau the Federal Reserve tetap mempertahankan suku bunga.

Lalu apa artinya bagi negara berkembang?

Pertumbuhan ekonomi di AS dan negara maju lainnya dalam hal ini sangat berkorelasi tinggi dengan permintaan produksi negara berkembang. Pada 2020, saat pandemi COVID-19 masih terjadi secara berkelanjutan, AS menyumbang 15 persen dari ekspor ASIA.

Data lainnya menunjukkan 80 persen dari negara Asia Pasifik telah mengembalikan tingkat ekspornya ke posisi sebelum pandemi COVID-19. Hal itu terjadi pada Februari 2021.

Artinya, pemulihan ekonomi lebih cepat di AS, sementara menguntungkan pasar AS dalam jangka menengah, dan positif untuk negara berkembang.

Dengan tingkat bunga rendah dan data makro ekonomi yang kuat, banyak negara berkembang termasuk Indonesia menarik dari valuasi.

Bagaimana dengan Obligasi?

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Secara year to date, kinerja obligasi Indonesia telah tertinggi dari saham. Dengan imbal hasil obligasi AS menguat, Ashmore Asset Management melihat banyak pihak yang bertanya-tanya mengenai strategi tepat untuk obligasi.

"Kami melihat yang terakhir waktu tapering (pengurangan pembelian obligasi-red) terjadi pada 2013-2015, imbal hasil obligasi AS juga meningkat 140 basis poin dalam 4,5 bulan sebelumnya dari suku bunga the Fed,”

Ashmore melihat tenor obligasi 30 tahun cenderung mendatar sedangkan bertenor dua tahun naik lebih cepat sehingga kemungkinan kasus serupa pada 2013-2015 dapat kembali terjadi. Apalagi kenaikan didorong sentimen jangka pendek inflasi karena ada pemulihan ekonomi.

"Strategi kami mungkin tidak seperti konvensional menahan lebih lama di aset lebih pendek. Namun, dengan kecepatan pemulihan ekonomi menunjukkan sebagian besar pemulihan telah terjadi direspons oleh bursa saham AS, kami yakin investasi dalam durasi panjang bisa disesuaikan,” dikutip dari laporan Ashmore.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya