Liputan6.com, Jakarta - Bursa Wall Street mengalami pelemahan pekan lalu setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan dia tidak mengesampingkan risiko resesi. Sejak itu, berbagai pejabat pemerintahan Donald Trump berusaha meyakinkan investor untuk tidak panik.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengakui bahwa ia tidak bisa menjamin AS tak akan masuk jurang resesi. Namun ia juga menyatakan bahwa sejauh ini tidak ada alasan yang bisa membawa Amerika Serikat masuk ke jurang resesi.
Baca Juga
"Saya tidak dapat menjamin apa pun ... tetapi yang dapat saya jamin adalah bahwa tidak ada alasan kami perlu mengalami resesi," kata Bessent, dikutip dari CNBC International, Kamis (20/3/2025).
Advertisement
Pernyataan itu kontras dari nada yang sebelumnya disampaikan Bessent ketika menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan resesi.
"Akan ada periode detoksifikasi," kata Bessent awal bulan ini dalam sebuah wawancara dengan CNBC.
Kemudian, dalam wawancara lainnya minggu lalu, ia menyangkal akan ada periode detoksifikasi.
"Tidak sama sekali. itu akan tergantung pada seberapa cepat tongkatnya akan dibatalkan. Tujuan kami adalah memiliki transisi yang lancar," ucapnya saat itu.
Donald Trump Bawa Pertumbuhan
Dalam keterangan terpisah, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick memberi sinyal positif pada kinerja ekonomi AS.
"Donald Trump membawa pertumbuhan ke Amerika. Saya tidak akan pernah bertaruh pada resesi. Tidak ada peluang," ujarnya dalam wawancara dengan NBC di segmen Meet the Press selama akhir pekan.
Di sisi lain, Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers, yang bertugas di bawah pemerintahan Clinton, mengatakan dalam sebuah wawancara CNN bahwa ia percaya ada sekitar 50% peluang resesi di AS.
Bahkan ketika pasar AS sudah memulai pemulihan, Summers mengatakan perkiraannya tidak berubah.
"Rasa ketidakpastian kebijakan yang sangat besar, pengeluaran dingin, masih bersama kami," katanya dalam wawancara terpisah dengan CNN pada Selasa pagi.
Dalam catatan baru -baru ini, para ekonom JPMorgan juga melihat peluang 40% ekonomi AS memasuki resesi, peningkatan 10 poin persentase dari awal tahun ini.
Revisi tersebut dihasilkan dari tarif yang ditingkatkan yang dianggap oleh para ekonom bank sebagai risiko hambatan besar pada aktivitas ekonomi AS.
The Fed Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi AS 2025 jadi 2%
Pejabat bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) memangkas prospek ekonomi Amerika Serikat dalam proyeksi terbaru yang dirilis pada Rabu, 19 Maret 2025.
Mengutip CNBC International, Kamis (20/3/2025) The Fed memproyeksi ekonomi AS akan tumbuh dengan kecepatan yang lebih rendah sebesar 2%.
Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) juga menurunkan prospek kolektifnya untuk pertumbuhan ekonomi AS menjadi 1,7%, turun dari proyeksi terakhir 2,1% pada bulan Desember 2025.
Sementara itu, para pejabat menaiki pandangan mereka terkait inflasi, memperkirakan indeks harga inti AS akan tumbuh pada kecepatan tahunan 2,8%, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,5%.
Proyeksi terbaru memungkinkan bank sentral melihat risiko skenario stagflasi, di mana inflasi naik ketika pertumbuhan ekonomi melambat.
"Ketidakpastian di sekitar prospek ekonomi telah meningkat," kata FOMC dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Perkembangan Inflasi AS
"Inflasi sudah mulai naik sekarang. Kami pikir sebagian sebagai tanggapan terhadap tarif dan mungkin ada penundaan dalam kemajuan lebih lanjut selama tahun ini," kata ketua The Fed Jerome Powell.
"Secara keseluruhan, ini adalah gambaran yang solid. Data survei baik rumah tangga dan bisnis menunjukkan ketidakpastian besar yang meningkat dan kekhawatiran signifikan tentang risiko kerugian," katanya.
Saat ini, The Fed masih memperkirakan bahwa pihaknya akan memangkas suku bunga hingga dua kali di sisa tahun 2025.
The Fed sejauh ini masih mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah dalam kisaran antara 4,25% -4,5%.
