Liputan6.com, Jakarta - Volatilitas pasar global dan turbulensi geopolitik setelah kembalinya Presiden Donald Trump ke Gedung Putih memicu kekhawatiran adanya risiko resesi pada ekonomi Amerika Serikat.
Tetapi ekonom menilai bahwa penurunan besar pada ekonomi AS belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Baca Juga
"Saya tidak berpikir kita akan berbicara tentang resesi AS. Ekonomi AS tangguh, menurut saya, sebagian besar terlepas dari Donald Trump," kata Holger Schmieding, kepala ekonom di Berenberg Bank, dikutip dari CNBC International, Selasa (11/3/2025).
Advertisement
Schmieding juga optimis konsumen AS masih memiliki daya beli yang kuat.
"Pasar tenaga kerja di AS tetap cukup kuat, dan dengan harga energi yang turun sedikit dan mungkin beberapa pemotongan pajak dan deregulasi yang akan datang, saya tidak berpikir ada risiko resesi yang akan segera terjadi," beber Schmieding.
Namun untuk jangka panjang, Schmieding tidak mengesampingkan kemungkinan tren pertumbuhan AS melemah, yaitu pertumbuhan di tahun-tahun setelah 2026.
Pekan lalu, Unit Intelijen Pasar AS di JPMorgan mencatat bahwa ekonomi AS memasuki periode ketidakpastian akibat sifat tarif yang tidak dapat diprediksi. Para analis JPMorgan mengatakan mereka mengambil posisi "bearish" pada saham AS, memperkirakan pasar akan melihat lebih banyak volatilitas dan pertumbuhan AS berpotensi menurun.
"Kita telah melihat dampak negatif dari ketidakpastian kebijakan/perdagangan terhadap pengeluaran rumah tangga dan perusahaan, jadi tampaknya kita akan melihat besarnya dampak yang lebih besar selama bulan depan. Perhatikan tingkat pengangguran, PHK, pemberitahuan WARN, dll. Jika kita mulai melihat tingkat pengangguran meningkat dengan cepat, maka kemungkinan besar hal itu akan mendorong pasar kembali ke 'Buku Pegangan Resesi," jelas JPMorgan.
Pasar Saham AS Terguncang
Pasar saham internasional telah terguncang dalam beberapa minggu terakhir di tengah kekhawatiran bahwa Trump bermaksud menghidupkan kembali perang dagang global. setelah mengumumkan tarif impor yang sangat tinggi untuk barang-barang dari Tiongkok, Meksiko, dan Kanada.
Kebingungan semakin tak terhindari setelah Trump mengumumkan akan ada penangguhan dan penundaan hingga 2 April untuk beberapa tarif pada negara-negara tetangga dan mitra dagang terdekat AS.
Para pemimpin bisnis dan ekonom telah menyuarakan kekhawatiran bahwa tarif akan menyebabkan tekanan inflasi lebih lanjut pada AS, dengan konsumen kemungkinan akan menanggung beban harga yang lebih tinggi pada barang-barang impor.
Advertisement
The Fed Keluarkan Sikap Wait and See
Mereka juga memperingatkan bahwa investasi, lapangan kerja, dan pertumbuhan dapat terganggu, karena konsumen mengencangkan ikat pinggang dan berdiam diri untuk menunggu periode ketidakpastian ekonomi dan potensi "stagflasi" yang ditandai oleh inflasi tinggi dan angka pengangguran yang tinggi.
Kondisi tersebut dikhawatirkan memberi tekanan pada The Fed untuk mempertahankan suku bunga, daripada memangkas dari suku bunga acuan mereka saat ini dalam kisaran antara 4,25%-4,5%, dalam upaya untuk mendorong ekonomi.
Ketua The Fed Jerome Powell pada hari Jumat mengatakan bahwa bank sentral AS masih menunggu untuk melihat bagaimana tindakan kebijakan agresif Trump berjalan sebelum bergerak lagi pada suku bunga.
