Inflasi Inti Jepang Sentuh Level Tertinggi dalam 40 Tahun, Bursa Saham Asia Menghijau

Bursa saham Asia Pasifik menguat pada perdagangan Jumat, 18 November 2022 setelah Jepang rilis data inflasi.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 18 Nov 2022, 10:21 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2022, 10:21 WIB
Rudal Korea Utara Bikin Bursa Saham Asia Ambruk
Seorang wanita berjalan melewati sebuah indikator saham elektronik sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo (29/8). Akibat peluncuran rudal Korea Utara yang mendarat di perairan Pasifik saham Asia menglami penurunan. (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik naik tipis pada perdagangan Jumat, 18 November 2022. Hal ini di tengah indeks harga konsumen inti atau inflasi inti Jepang pada Oktober 2022 naik 3,6 persen dibandingkan tahun lalu.

Inflasi tersebut lebih tinggi dari yang diharapkan pada laju tercepat dalam 40 tahun. Level inflasi Jepang itu alami level yang sama pada Februari 1982, berdasarkan data Refinitiv.

Indeks Nikkei Jepang menguat dan indeks Topix naik tipis 0,22 persen. Indeks Kospi Korea Selatan bertambah 0,75 persen. Indeks ASX 200 menanjak 0,32 persen. Indeks Hang Seng bertambah 1,3 persen. Indeks Hang Seng teknologi menguat 3,45 persen.

Di bursa saham China, indeks Shanghai mendatar dan indeks Shenzhen naik 0,47 persen.

Sementara itu, pemimpin ekonomi kawasan berkumpul di Thailand dalam menyambut KTT APEC. Bursa saham Amerika Serikat atau wall street melemah dan imbal hasil obligasi AS melonjak.

Hal ini seiring pejabat the Federal Reserve (the Fed) beri sinyal lebih banyak kenaikan suku bunga ke depan. Presiden the Federal Reserve St Louis Hames Bullard menyarankan suku bunga the Federal Reserve antara 5-7 persen.

Saham perusahaan teknologi China Tencent dan NetEase yang tercatat di bursa Hong Kong menguat setelah perseroan diberikan lisensi oleh China’s National Press and Publication Administration. Saham Tencent naik 3 persen saat pembukaan perdagangan saham.

Saham NetEase menanjak lebih dari lima persen. Pada Kamis, 17 November 2022, saham NetEase anjlok lebih dari 11 persen setelah perseroan umumkan lisensi dengan Activision Blizzard akan berakhir pada Januari 2023. Regulator mengeluarkan lisensi untuk sekitar 70 game pada November 2022.

Penutupan Bursa Saham Asia 17 November 2022

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Sebelumnya, bursa saham Asia Pasifik cenderung melemah pada perdagangan Kamis, 17 November 2022. Indeks Hang Seng terpangkas 2,09 persen dengan saham teknologi China turun tajam. Hal ini Tencent memangkas saham senilai lebih dari USD 20 miliar di Meituan.

Di bursa saham China, indeks Shanghai turun 0,52 persen. Indeks Shenzhen tergelincir 0,69 persen. Indeks ASX 200 Australia naik 0,19 persen ke posisi 7.135,7 seiring angka pengangguran negara tersebut lebih baik dari yang diharapkan.

Di Jepang, indeks Nikkei 225 melemah 0,35 persen ke posisi 27.930,57. Indeks Topix bertambah 0,15 persen ke posisi 1.966,28 seiring Jepang laporkan defisit perdagangan USD 15,5 miliar. Realisasi defisit tersebut lebih besar dari jajak pendapat Reuters. Indeks Kospi Korea Selatan melemah 1,14 persen ke posisi 2.448,06.

Sementara itu, pemimpin ekonomi kawasan akan berkumpul di Thailand untuk KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Selain itu, Bank Indonesia gelar pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk memutuskan suku bunga acuan.

Penutupan Wall Street pada 17 November 2022

Wall Street
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange, New York, 10 Agustus 2022. (AP Photo/Seth Wenig, file)

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street tumbang pada perdagangan Kamis, 17 November 2022. Di sisi lain, imbal hasil obligasi AS melonjak seiring pejabat the Federal Reserve (the Fed) isyaratkan kenaikan suku bunga untuk memperlambat inflasi masih jauh dari selesai.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah tipis 7,51 poin atau 0,02 persen ke posisi 33.546,32. Indeks Dow Jones sempat turun 314 poin dalam sesi perdagangan. Indeks S&P 500 terpangkas 0,31 persen ke posisi 3.946,56. Indeks Nasdaq terpangkas 0,35 persen ke posisi 11.144,96.

Wall street menguat dari posisi terendah pada hari sebelumnya seiring saham Cisco Systems melonjak hampir lima persen. Perusahaan peralatan jaringan melampaui harapan dalam laporan fiskal kuartal I dan mengeluarkan panduan optimistis. Saham teknologi antara lain Apple dan Intel juga menguat.

Sementara itu, investor juga mempertimbangkan komentari Presiden The Federal Reserve St Louis James Bullard yang mengatakan dalam pidatonya pada Kamis, 17 November 2022 kalau tingkat suku bunga belum berada di zona yang dapat dianggap cukup membatasi.

“Perubahan sikap kebijakan moneter tampaknya hanya memiliki efek terbatas pada inflasi yang diamati, tetapi harga pasar menunjukkan disinflasi diperkirakan terjadi pada 2023,” Bullard menambahkan.

Selain itu, imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) bertenor dua tahun yang sensitif terhadap kebijakan melonjak menjadi 4,45 persen. Hal itu meningkatkan kekhawatiran suku bunga lebih tinggi akan mengirim ekonomi ke dalam resesi.

 

Risiko Resesi Tetap Tinggi

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

“Saya sedang melihat pasar tenaga kerja yang sangat ketat, saya tidak tahu bagaimana Anda terus menurunkan tingkat inflasi ini tanpa benar-benar melambat, dan mungkin kita bahkan mengalami kontraksi ekonomi untuk mencapainya,” ujar Kansas City the Fed President Esther George kepada Wall Street Journal pada Rabu, 16 November 2022.

Saham-saham yang rentan terhadap resesi termasuk melemah di indeks S&P 500. Saham-saham material atau bahan baku melemah, begitu pula saham konsumsi pilihan.

Pengetatan moneter tambahan dan dampak kumulatif dari kenaikan suku bunga pada 2022 menunjukkan risiko resesi tetap tinggi. Hal itu disampaikan UBS Global Wealth Management Chief Investment Officer Mark Haefele.

“Kami terus percaya kalau prasayarat ekonomi makro untuk reli yang berkelanjutan, penurunan suku bunga dan penurunan pertumbuhan, dan laba perusahaan sudah di depan mata, belum ada,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya