Liputan6.com, Jakarta - Head of Investment Solution Mirae Asset Sekuritas, Roger MM memaparkan beberapa sentimen yang perlu dicermati investor pada semester II 2024 yang dapat mempengaruhi kinerja pasar saham.
Sentimen pertama adalah sentimen pemotongan suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat. Roger menuturkan, pasar berekspektasi The Fed akan menurunkan suku bunga pada September.
Baca Juga
"The Fed kemungkinan memangkas suku bunga pada September sebesar 25 basis poin (bps). Namun seiring adanya isu resesi, pelaku pasar optimis penurunan suku bisa mencapai 125 bps hingga akhir 2024,” kata Roger dalam acara Media Day Mirae Asset Sekuritas, Kamis (8/8/2024).
Advertisement
Sentimen selanjutnya adalah pemilu AS yang akan dilaksanakan pada November mendatang. Roger mengatakan saat ini Donald Trump masih unggul dalam polling, tetapi market sepertinya tidak terlalu menyukai Trump karena rekam jejaknya.
"Analis Paling concern pada kemenangan Trump adalah The Fed akan punya keterbatasan ruang gerak karena dikontrol Pemerintahan Trump. Trump juga arahnya bersitegang dengan China yang akan menurunkan nilai Dolar AS untuk bersaing di pasar ekspor,” ujar dia.
Selain itu, tekanan dari geopolitik juga masih menjadi sentimen pasar saham pada semester dua 2024. Sedangkan untuk sentimen dalam negeri, pasar masih menunggu pengumuman kabinet pemerintahan baru.
IHSG dan Sektor Pilihan
Adapun untuk IHSG, Mirae Asset Sekuritas memproyeksikan IHSG bisa mencapai level 7.585. Roger mengatakan proyeksi ini turun dari awal tahun yang semula 8.100. Hal ini karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed tidak tercapai pada awal 2024.
Sedangkan untuk sektor pilihan, Roger mengungkapkan investor dapat mencermati sektor perbankan, retail, dan saham berbasis consumer.
Penyebab Nilai Transaksi Saham Turun
Sebelumnya, Head of Investment Solution Mirae Asset Sekuritas, Roger MM mengungkapkan penyebab nilai transaksi saham di tanah air cenderung lesu, salah satunya adalah pasar modal Indonesia yang saat ini kurang volatile.
Menurut Roger, ada investor lebih suka dengan aset yang volatile, hal tersebut bisa ditemukan pada aset kripto karena volatilitasnya lebih besar dibandingkan dengan saham.
“Sebagian investor kita kan suka sama yang volatile. Nah di kripto itu harganya itu lebih volatile dibanding saham. Kemudian faktor yang mempengaruhi kripto tadi itu global. Harga kripto itu lebih menarik mungkin bagi spekulan, bagi trader itu di kripto,” kata Roger kepada wartawan usai acara Media Day Mirae Asset Sekuritas, Kamis (8/8/2024).
Roger menjelaskan di saham cakupan emiten lebih sempit, misalnya investor mau beli saham emiten semen, hanya sektor semen yang mempengaruhi naik turunnya. Sedangkan untuk aset kripto jumlah pemainnya lebih besar dan secara global.
Advertisement
Investor FOMO
Meskipun begitu, Roger menyebut masih banyak investor yang Fear of Missing Out (FOMO) dalam berinvestasi kripto sehingga tidak mengetahui risikonya.
“Kadang yang suka kebablasan itu kita gak kenal kripto, tiba-tiba ikut-ikutan FOMO, gak tau resikonya. Jadi gak dipelajari dulu, lebih baik berinvestasi yang udah dikenal,” jelasnya.
Selain itu penyebab lesunya transaksi di pasar saham menurut Roger adalah kebijakan Full Call Action (FCA) yang baru-baru ini diterapkan.
“Makanya mungkin sebagian perusahaan sekuritas berpikir kenapa transaksi kita menurun ya di bursa, ya itu tadi satu full call auction, yang udah diprotes oleh banyak pelaku pasar, dan bursa diminta review kembali untuk full call auction,” lanjutnya.
Meski dalam kondisi seperti ini, Roger menuturkan pasar saham masih menarik karena rilis laporan keuangan emiten untuk kuartal dua atau semester satu 2024. Selain itu adanya sentimen positif di depan mata seperti penurunan suku bunga The Fed membuat pasar saham masih menarik.
Mirae Asset Turunkan Target IHSG ke 7.585 hingga Akhir 2024, Saham-Saham Ini Jadi Pilihan
Sebelumnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia merevisi target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke 7.585 hingga akhir tahun 2024. Sehingga masih ada ruang penguatan dibandingkan posisi sekarang di kisaran 7.100, seiring dengan penyesuaian suku bunga acuan oleh pelaku bisnis dan emiten.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto mengatakan, prediksi IHSG tersebut terutama didasari pertimbangan makroekonomi terkini terkait ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yang lebih terbatas dan posisi nilai tukar Rupiah.
"Di tahun 2024 ini sebetulnya kita expect di 8.100. Tapi memang kondisinya yang kita semua ketahui mungkin tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya, jadi kita menurunkan target IHSG dari 8.100 ke 7.585," kata Rully dalam Investor Network Summit 2024 by Mirae Asset, Rabu (3/2024).
Dengan prediksi tersebut, Tim Riset Mirae Asset memiliki 9 saham pilihan (top picks) yaitu ACES, ASII, BBRI, BBCA, BMRI, CPIN, MAPI, MYOR, dan TLKM. Terkait makroekonomi, Rully masih optimistis kondisi Indonesia akan positif dan prediksi ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia masih akan dipengaruhi oleh posisi nilai tukar rupiah yang semakin stabil dan potensi penurunan suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate/FFR).
Di tengah situasi yang penuh tantangan, dia juga memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan akan sesuai target pertumbuhan BI sebesar 10%-12%. Kebijakan BI yang diambil saat ini berfungsi untuk mendukung stabilitas, dan Mirae Asset memperkirakan hal ini akan bertahan lebih lama dengan pengaruh dari volatilitas Rupiah yang semakin terjaga.
Advertisement
Ekonomi Global pada Semester II 2024
"Maka dari itu, kami memprediksi pertumbuhan PDB (pertumbuhan ekonomi) Indonesia menjadi 5,01% pada 2024 dan 5,02% pada 2025, karena kebijakan penurunan suku bunga yang kurang agresif dibanding perkiraan sebelumnya.”
Perekonomian global pada semester II/2024, lanjut Rully, diprediksi ditopang oleh AS dan India sebagai mesin pertumbuhan hingga tahun depan. Untuk AS, dia juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi negara Paman Sam akan moderat, didorong oleh dampak lambat dari pengetatan kebijakan moneter yang sangat agresif sejak 2022.
Sebagai faktor lain, dia meyakini ketidakpastian masih sangat tinggi dan sulit memprediksi berlanjutnya ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel. Ketegangan geopolitik di daerah lain, menurut dia, dapat mendorong volatilitas jangka pendek, tetapi angka permintaan global masih lemah terutama karena lemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok.