Liputan6.com, Jakarta - Sektor energi baru terbarukan (EBT) diprediksi tetap memiliki prospek cerah meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi kebijakan maupun dinamika ekonomi global. Transisi energi menuju net zero emission (NZE) menjadi fokus utama pemerintah Indonesia, yang menargetkan pencapaian NZE pada tahun 2060.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif guna mendorong percepatan pengembangan EBT. Salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022, yang mengatur energi terbarukan dan harga jual listrik dari sumber energi hijau. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik bagi pelaku industri energi bersih.
Advertisement
Baca Juga
Selain kebijakan domestik, tren global juga menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap sektor EBT. Banyak perusahaan multinasional mulai mengalokasikan dana investasinya ke energi hijau, terutama dalam pengembangan tenaga surya, angin, dan bioenergi.
Advertisement
Hal ini sejalan dengan preferensi investor global yang semakin selektif dalam memilih investasi berkelanjutan. Tren ini juga diperkirakan akan mendorong valuasi saham di sektor energi hijau dalam jangka panjang.
"Banyak perusahaan global yang mulai berinvestasi di energi hijau terutama pada tenaga surya, angin dan bioenergi. Investor global semakin selektif terhadap investasi yang berkelanjutan, yang dapat mendorong valuasi saham di sektor EBT," kata Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi kepada Liputan6.com, ditulis Jumat (31/1/2025).
Tantangan Perkembangan EBT
Namun, beberapa faktor eksternal berpotensi menjadi tantangan bagi perkembangan EBT. Salah satunya adalah kebijakan energi yang mungkin diterapkan di Amerika Serikat. Jika Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS, ada kemungkinan beberapa kebijakan pro-EBT yang telah diberlakukan sebelumnya akan dicabut, mengingat kecenderungan politiknya yang lebih mendukung energi fosil.
Selain itu, AS juga mulai mengurangi investasinya di sektor EBT, yang dapat berdampak negatif terhadap pasar energi hijau secara global. Di sisi lain, harga energi fosil yang lebih kompetitif di masa mendatang juga bisa memperlambat transisi ke energi bersih, karena harga yang lebih murah cenderung lebih menarik bagi industri dan konsumen.
"Trump yang cenderung pro energi fosil dan akan mencabut beberapa kebijakan pro EBT ke depan. AS juga mengurangi investasi di EBT hal ini akan berdampak negatif bagi pasar global. Jika harga komoditas energi folis lebih kompetitif kedepan akan memperlambat transisi EBT," jelas Lanjar.
Â
Prospek Masih Menjanjikan
Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, sektor EBT tetap dinilai memiliki prospek menjanjikan dalam jangka panjang. Beberapa saham yang berpotensi di sektor ini antara lain PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN), yang dianggap dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan industri energi terbarukan.
Ke depan, investor perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi volatilitas harga saham di sektor ini, termasuk perkembangan kebijakan global, harga energi fosil, serta arah investasi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Namun, dengan komitmen kuat dari pemerintah dan tren investasi yang terus berkembang, industri energi hijau di Indonesia tetap memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang.
"Sektor EBT ini tetap prospektif menurut saya dalam jangka panjang tetapi sentimen jangka pendek (seperti kebijakan Trump dan harga energi fosil) bisa mempengaruhi volatilitas harga sahamnya," imbuh Lanjar.
Â
Advertisement
Nasib Industri Kendaraan Listrik
Â
Pembatalan target emisi karbon dioksida oleh Gedung Putih dan rencana untuk menghapus kredit pajak federal EV membuat beberapa analis khawatir penjualan kendaraan listrik akan menurun. Pada Januari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mencabut sejumlah kebijakan era pemerintahan sebelumnya yang mendukung pengembangan kendaraan listrik (EV).
Langkah ini termasuk penghentian pendanaan federal sebesar USD 7,5 miliar untuk infrastruktur pengisian daya EV yang sebelumnya diinisiasi oleh Presiden Joe Biden melalui Infrastructure Investment and Jobs Act tahun 2021. Selain itu, Trump berencana mengakhiri insentif pajak federal sebesar USD 7.500 untuk pembelian kendaraan listrik dan mencabut mandat yang menargetkan 56% dari penjualan kendaraan baru di AS merupakan EV pada tahun 2032.
Dia juga mengumumkan niatnya untuk melemahkan standar emisi gas buang, yang berpotensi meningkatkan polusi dari aktivitas industri. Melansir berbagai sumber, kebijakan ini diperkirakan akan memperlambat transisi menuju kendaraan listrik di AS dan dapat mempengaruhi upaya penanggulangan perubahan iklim.
Pengaruhi Pasar Modal Indonesia
Meskipun demikian, industri otomotif telah banyak berinvestasi dalam pengembangan EV, dan pada tahun 2024, EV menyumbang 8,1% dari total penjualan kendaraan baru di AS.
Langkah Trump ini juga berpotensi mempengaruhi pasar global, termasuk Indonesia. Sebagai produsen nikel yang merupakan komponen kunci dalam baterai EV, Indonesia mungkin mengalami penurunan permintaan jika adopsi EV melambat di AS.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi mempengaruhi investasi perusahaan AS di sektor smelter nikel dan pabrik baterai di Indonesia, serta aliran pembiayaan internasional terkait transisi energi.
Advertisement