Apa Itu Price to Earning Ratio (PER) dalam Pasar Modal?

Dalam menilai suatu saham, investor biasanya menghitung PER secara individu. Meski demikian, nilai PER dari satu saham saja seringkali kurang akurat untuk dijadikan acuan.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 10 Feb 2025, 17:15 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2025, 17:15 WIB
IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Layar indeks harga saham gabungan menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Perdagangan bursa saham 2018 dibuka pada level 6.366 poin, angka tersebut naik 11 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Price to Earning Ratio (P/E Ratio)atau juga biasa ditulis PER adalah salah satu indikator yang paling banyak digunakan oleh investor dan analis untuk menilai apakah harga saham suatu perusahaan tergolong mahal atau murah. Price to Earning Ratio ini membantu menentukan apakah suatu saham dinilai terlalu tinggi (overvalued) atau terlalu rendah (undervalued) dengan membandingkan harga saham perusahaan terhadap laba per sahamnya (Earnings Per Share/EPS).

P/E Ratio menunjukkan seberapa besar investor bersedia membayar untuk setiap rupiah laba yang dihasilkan perusahaan. Jika sebuah perusahaan memiliki P/E yang tinggi, artinya investor memiliki ekspektasi pertumbuhan laba yang besar di masa depan. Sebaliknya, P/E yang rendah bisa menunjukkan saham yang undervalued atau pertumbuhan yang lebih lambat.

Setiap sektor industri memiliki standar P/E yang berbeda. Misalnya, perusahaan teknologi biasanya memiliki P/E lebih tinggi dibandingkan sektor perbankan atau energi. Oleh karena itu, untuk memahami apakah suatu saham mahal atau murah, investor perlu membandingkan P/E dengan perusahaan lain di industri yang sama.

Cara Menghitung P/E Ratio

Melansir Investopedia, Senin (10/2/2025), P/E Ratio dihitung dengan rumus berikut:

P/E Ratio = Harga Saham Saat Ini / Laba Per Saham (Earning per Share/EPS)

EPS sendiri mencerminkan seberapa besar keuntungan perusahaan yang dialokasikan untuk setiap lembar saham. Rumus EPS, yakni laba bersih dibagi jumlah lembar saham. Semakin tinggi EPS, semakin sehat kondisi keuangan perusahaan. P/E Ratio dapat membantu investor dalam mengambil keputusan investasi.

 

 

Fungsi Price Earning Ratio

IHSG
Pekerja berbincang di dekat layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Pada pemukaan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini naik tipis 0,09% atau 4,88 poin ke level 5.611,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Dalam menilai suatu saham, investor biasanya menghitung PER secara individu. Meski demikian, nilai PER dari satu saham saja seringkali kurang akurat untuk dijadikan acuan. Oleh karena itu, investor berpengalaman cenderung membandingkan PER dari beberapa saham dalam satu industri yang sama. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi saham mana yang memiliki valuasi lebih rendah dibandingkan kompetitornya dalam sektor yang sama.

Mengingat fungsi utama PER adalah untuk menentukan saham yang paling murah dalam industrinya, perbandingan sebaiknya dilakukan antar saham dalam sektor atau subsektor yang serupa. Misalnya, saham di sektor perbankan dibandingkan dengan saham perbankan lainnya, bukan dengan saham di sektor batu bara atau infrastruktur.

Melansir laman Ajaib Sekuritas, ada sektor-sektor tertentu yang cenderung memiliki PER lebih tinggi ketika sedang mengalami tren positif, seperti sektor pertambangan yang bersifat siklikal.

Sebagai contoh, pada periode commodity supercycle yang dimulai pada 2021, saham-saham tambang secara kolektif mencatatkan PER yang sangat tinggi. Namun, setelah masa booming berakhir, saham-saham tersebut mengalami pelemahan secara bersamaan. Fluktuasi PER dalam kasus ini lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi sektoral dibandingkan dengan kinerja keuangan perusahaan secara individual. Oleh sebab itu, membandingkan PER dalam satu sektor menjadi langkah yang lebih relevan.

 

Menentukan Price Earning Ratio yang Ideal

IHSG
Pekerja beraktivitas di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

PER digunakan untuk menilai apakah suatu saham tergolong undervalued atau overvalued. Secara sederhana, semakin tinggi PER, semakin mahal harga saham, dan sebaliknya. Namun, interpretasi ini tidak bisa dilakukan secara mutlak tanpa mempertimbangkan faktor lain.

Berikut adalah kriteria dalam menilai PER:

  • PER di bawah 15x dianggap masih menarik untuk investasi. Investor yang menganut strategi value investing cenderung memilih saham dengan PER di bawah 15x, karena angka di atas itu sering kali dianggap terlalu mahal. Meski begitu, investor dengan strategi lain tetap bisa memilih saham dengan PER lebih tinggi, asalkan didukung oleh analisis mendalam.
  • PER di bawah 7x perlu diwaspadai. Saham dengan PER rendah bisa menjadi peluang jika memang undervalued, tetapi bisa juga mencerminkan fundamental perusahaan yang lemah. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis tambahan, seperti mengevaluasi arus kas, rasio laba, tingkat utang, dan kondisi industri tempat saham tersebut beroperasi.
  • PER negatif (di bawah nol) sebaiknya dihindari. PER negatif menunjukkan bahwa perusahaan mengalami kerugian. Jika kondisi ini berlangsung dalam beberapa tahun berturut-turut, saham tersebut berisiko menjadi saham zombie atau bahkan mendekati harga gocap (Rp50 per lembar saham, batas harga terendah di pasar saham Indonesia).

Dengan memahami fungsi dan interpretasi PER dengan tepat, investor dapat membuat keputusan investasi yang lebih rasional dan menghindari jebakan valuasi saham yang menyesatkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya