Liputan6.com, Jakarta - Harga emas terus menunjukkan tren penguatan di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kebijakan moneter yang berubah-ubah. Analis menilai saham emiten produsen emas masih memiliki prospek cerah dalam jangka menengah hingga panjang.
Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menyebutkan, emas tetap menjadi aset safe haven yang dicari investor saat terjadi ketidakstabilan ekonomi, inflasi tinggi, atau gejolak geopolitik.
Baca Juga
"Ketika ada ketidakpastian ekonomi, harga emas cenderung naik, yang tentunya berdampak positif pada kinerja saham perusahaan tambang emas," ujar Lanjar kepada Liputan6.com, ditulis Sabtu (22/3/2025).
Advertisement
Selain sebagai investasi, emas juga banyak digunakan dalam industri perhiasan dan teknologi, yang membuat permintaannya tetap tinggi. Lanjar juga menyoroti pentingnya memilih emiten emas yang memiliki biaya produksi rendah agar tetap menguntungkan meskipun harga emas berfluktuasi. Ia menyebut saham-saham seperti ANTM dan MDKA sebagai pilihan menarik di sektor ini.
Senada, Analis Central Capital Wahyu Tri Laksono menilai bahwa faktor ketidakpastian ekonomi global menjadi pemicu utama kenaikan harga emas. "Meski terjadi pergeseran kebijakan moneter The Fed, di mana Fed mulai mengurangi skala besaran dan timing cut rate, XAUUSD tetap menguat, bahkan saat USD sedang dalam tren penguatan," kata Wahyu.
Ia menjelaskan, melambatnya ekonomi China serta kebijakan stimulus moneter besar-besaran dari negara tersebut turut berkontribusi pada lonjakan harga emas. Selain itu, meningkatnya permintaan bank sentral terhadap emas, yang rata-rata mencapai 50 ton per bulan, juga menjadi faktor pendukung kenaikan harga emas.
Lebih lanjut, Wahyu menyoroti peran COMEX dalam dinamika harga emas global. Ia mengungkapkan, jika terlalu banyak investor menuntut emas dalam bentuk fisik, COMEX mungkin tidak memiliki cukup pasokan untuk memenuhi pengiriman.
"Mereka menimbun emas sekarang untuk mencegah hal ini menjadi jelas, tapi itu hanya perbaikan sementara. Jika sebuah lembaga atau negara besar seperti China, Rusia, atau kelompok BRICS menarik emas dalam jumlah besar, COMEX bisa mengalami kekurangan pasokan," jelasnya.
Ketidakpastian Ekonomi
Menurut Wahyu, jika pasar menyadari COMEX sedang berjuang memenuhi pengiriman fisik, penarikan emas akan meningkat drastis, menyebabkan ketidakpercayaan terhadap kontrak emas kertas. Hal ini dapat memicu lonjakan harga emas hingga melampaui USD 3.000 atau bahkan USD 5.000 per ons akibat panic buying.
Selain itu, ketidakpastian terkait kebijakan ekonomi di era Trump serta risiko fiskal yang meningkat juga menjadi faktor pendorong investor untuk beralih ke emas. Terbaru, XAUUSD mencatatkan rekor tertinggi setelah FOMC Meeting Maret 2025.
Beberapa keputusan kunci dari pertemuan tersebut di antaranya adalah The Federal Reserve (the Fed) yang tidak terburu-buru dalam memangkas suku bunga, prediksi pertumbuhan ekonomi yang menurun tajam pada 2025, serta meningkatnya perkiraan inflasi dan pengangguran di AS.
Dengan kondisi tersebut, prospek saham emiten produsen emas dinilai masih sangat menarik. Kenaikan harga emas berpotensi meningkatkan pendapatan dan profitabilitas perusahaan tambang emas. Selain itu, permintaan emas yang stabil dari sektor perhiasan, investasi, dan industri juga memberikan kepastian bagi emiten dalam menjalankan bisnisnya. "Jadi strategi emiten emas saat ini Buy Hold dan Buy on Weakness," ujar Wahyu.
Advertisement
Harga Emas pada Kamis 20 Maret 2025
Harga emas turun pada perdagangan Kamis, 20 Maret 2025 setelah mencapai rekor tertinggi pada awal sesi perdagangan.
Namun, harga emas tetap mempertahankan prospek bullish yang didorong potensi penurunan suku bunga yang diisyaratkan oleh the Federal Reserve (the Fed). Selain itu, ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang berlanjut membayangi harga emas.
Mengutip CNBC, Jumat (21/3/2025), harga emas di pasar spot turun 0,3 persen menjadi USD 3.038,78 per ounce pada pukul 15.38 GMT. Koreksi harga emas terjadi didorong aksi ambil untung setelah mencapai rekor tertinggi di posisi USD 3.057,21.
Harga emas di pasar berjangka ditutup naik 0,1 persen ke posisi USD 3.043,80 per ounce.
“Spekulan mencoba mengambil untung dari pasar dan mengambil sebagian keuntungan dari pasar. Saya pikir setiap kali harga emas mencapai titik tertinggi, kita melihat sedikit perlawanan,” ujar Chief Operating Officer Allegiance Gold, Alex Ebkarian.
Ia menuturkan, emas bahkan belum bertindak sebagai aset safe haven bagi investor ritel seiring secara teknikal tidak sedang dalam resesi. “Kita melihat perlambatan ekonomi dan itu dapat menciptakan ketidakpastian lebih lanjut dan keinginan lebih besar untuk aset safe haven,” kata dia.
Sementara itu, ketua The Federal Reserve Jerome Powell menuturkan, kebijakan awal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump termasuk tarif impor yang luas, mungkin telah memperlambat pertumbuhan ekonomi AS dan meningkatkan inflasi.
Sementara itu, Donald Trump kritik keputusan the Fed untuk menahan suku bunga, meski ada proyeksi untuk dua pemangkasan suku bunga pada akhir 2025. Hal ini karena melemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang lebih tinggi.
Kebijakan The Fed
Pelaku pasar prediksi pelonggaran suku bunga the Fed, ada dua pemangkasan suku bunga masing-masing 25 bps dengan pemangkasan suku bunga pada Juli sudah diperhitungkan sepenuhnya, demikian ditunjukkan data LSEG.
“Dalam kasus bull, kami melihat harga emas mencapai USD 3.500 per ounce pada akhir tahun, didukung permintaan lindung nilai/investasi yang jauh lebih tinggi karena kekhawatiran akan stagflasi AS,” ujar Analis Citi.
Di sisi lain, 91 warga Palestina meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka dalam serangan udara Gaza setelah Israel melanjutkan pemboman akhiri gencatan senjata selama dua bulan.
Adapun emas bertindak sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian dan cenderung berkinerja baik dalam lingkungan suku bunga rendah.
Di sisi lain, harga perak di pasar spot turun 1,2 persen menjadi USD 33,41 per ounce, platinum susut 1,1 persen menjadi USD 982. Selain itu, platinum melemah 1,3 persen menjadi USD 946,5.
Advertisement
