Liputan6.com, Jakarta Tahun 2015 sepertinya bukan tahun yang manis bagi perfilman nasional. Jumlah penonton film nasional kian turun. Padahal jumlah film nasional yang rilis tahun ini masih terbilang banyak.
Saban pekan, bisa rilis dua film nasional baru. Artinya, industri film kita terus tumbuh melahirkan film-film baru.
Menurut catatan pengamat film Yan Widjaya di akun Twitter-nya belum lama ini, dari Januari hingga Juni sudah edar 62 film nasional. Katanya juga, dari film sejumlah itu penonton yang dihasilkan hanya 4,7 juta penonton. Angka itu hanya lebih sedikit dari jumlah penonton Laskar Pelangi (2008) yang berjumlah 4,6 juta.
Advertisement
Dari 62 film yang edar selama Januari-Juni tersebut, bila dipukul rata, setiap film hanya meraih 76.222 penonton. "Enam puluh dua film kalah oleh satu judul Laskar Pelangi," kicau Yan Widjaya.
Dari laman filmindonesia.or.id, lima film yang paling banyak meraih penonton hingga Juni 2015 adalah: Di Balik 98 (648.947 penonton), Tarot (329.160 penonton), Toba Dreams (252.578), Filosofi Kopi the Movie (229.680 penonton), dan Youtubers (207.686 penonton).
Seorang kawan produser bilang, untuk membuat film dengan kualitas yang layak sebagai tontonan bioskop, produser setidaknya harus menyiapkan bujet produksi minimal Rp 3 miliar. Dengan bujet sejumlah itu, angka penonton agar ia tak merugi harus berjumlah 300 ribu.
Jika mengacu angka tersebut, itu berarti hanya dua film yang dikatakan untung dan balik modal. Enam puluh film sisanya yang edar sepanjang enam bulan terakhir masuk kategori rugi.
Memang, angka itu terlalu digeneralisir. Bujet masing-masing film berbeda, tergantung production value yang tersaji di layar. Di majalah Info edisi Januari 2015 yang ia kelola, Yan Widjaya mengatakan, tahun lalu, dari 100 judul film edar, 40 di antaranya film horor. Jika dirata-rata, penjualan karcis film-film horor itu di atas 50 ribu lembar. Hasil bersihnya, kata Yan, Rp 750 juta per judul. Kalau bujet mereka murah meriah sekitar Rp 500 juta, maka mereka memperoleh laba kotor Rp 250 juta per judul.
Hal ini mengindikasikan, agar tak merugi terlalu dalam, sineas kita bakal bersiasat membuat film dengan bujet murah meriah. Namun bikin film dengan bujet murah, umumnya bakal menghasilkan film yang murahan pula. Jika filmnya terlihat murahan, mana bisa bersaing dengan Hollywood yang bujetnya bisa triliunan rupiah? Jika filmnya murahan, bagaimana mungkin penonton tertarik masuk bioskop menyaksikan film nasional. Jika sudah begitu, lantas bagaimana nasib perfilman Indonesia enam bulan ke depan? (Ade/Mer)