Sosok Hendra Martono, dari Beternak Saham, Hingga Bikin Film

Hendra Martono menulis sebuah novel yang diangkat ke dalam sebuah film.

oleh Surya Hadiansyah diperbarui 21 Mei 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2019, 13:00 WIB
Hendra Martono
Hendra Martono

Liputan6.com, Jakarta - Hendra Martono yang merupakan novelis dan juga investor pasar modal mengaku bangga karyanya 'Incredible Love' bisa dituangkan ke dalam sebuah film. Hendra menganggap cerita dalam novel tersebut banyak memiliki kisah inspirasi.

Incredible Love memang menceritakan kisah nyata Hendra Martono. Dirinya juga banyak membantu penggarapan filmnya dengan menceritakan kepada sutradara Girry Pratama. Beberapa aktor didaulat untuk memainkan film tersebut antara lain Roy Marten, Ira Wibowo dan Ajun Perwira.

"Sosok Hendra Martono bisa menceritakan kisahnya dengan detil, dia mampu menggambarkannya. Sepertinya dia mempunyai kemampuan untuk menyutradarai sebuah film," ujar Jujur Prananto yang dipercaya sebagai penulis skenario di film ini.

Sang produser, Girry Pratama juga kagum dengan sosok Hendra Martono. "Pengetahuannya di bidang keuangan dan tema autisms sangat diperlukan. Dia memberi masukan yang sangat bagus yang tidak dimiliki sutradara lainnya," kata Girry Pratama.  

 

 

Sosok

Nama Hendra Martono dikenal dengan keahliannya dalam bertanam saham. Kisahnya menjadi inspiratif. Cerita berawal pada tahun 1991 saat dirinya sedang menjaga toko kelontong milik ayahnya di Surabaya. Hendra Martono membaca artikel di koran bekas yang bercerita tentang seorang pakar saham, John Bollinger. Hendra yang kala itu masih duduk di bangku SMA, terinspirasi dengan kesuksesan Bollinger yang menemukan teori teknikal saham Bollinger Band.

Semenjak itulah, Hendra yang kini menjabat sebagai Direktur di PT Henan Putihrai, ingin terus mendalami dunia pasar modal, meski secara otodidak.

Investasi pertamanya di saham dimulai pada tahun 1997 dengan modal Rp 5 juta. Lulusan Pariwisata Universitas Petra Surabaya ini mengaku, investasinya itu berkembang cepat dalam setahun menjadi Rp 60 juta.

Namun, saat terjadi kerusuhan tahun 1998 dan pasar saham anjlok, nilainya turun menjadi Rp 20 juta. "Tetapi, bisa dikatakan saya masih untung karena awalnya hanya bermodal Rp 5 juta," ujarnya.

Di waktu yang sama, krisis membuat ia tak lagi bekerja, karena usaha tour and travel yang ia jalani gulung tikar. Setelah mendapatkan pekerjaan lagi pada 1999, uang Rp 20 juta dari ayahnya dibenamkan lagi di saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP).

"Ayah saya bilang, orang kalau sudah dikasih rokok Dji Sam Soe, tidak akan mau pindah ke merek lain," kenangnya.

Sembari bekerja di bidang pariwisata, ia disiplin berinvestasi di saham dan membeli beberapa saham termasuk PT Astra International Tbk (ASII). Demi berinvestasi di saham, pria yang akrab disapa Hok Hwan ini menahan diri untuk membeli sepeda motor ataupun mobil. "Saya sampai lupa pernah punya saham HMSP. Hingga pada tahun 2002, saya baru ingat punya saham itu," ujarnya.

Ternyata, nilai uang yang ada di saham HMSP berkembang dari Rp 20 juta menjadi Rp 210 juta. "Saya kaget sekali. Karena awalnya saya pikir hanya naik dua kali lipat. Ternyata, HMSP melakukan stock split, sehingga harga saham itu sudah naik 10 kali lipat," ujarnya.

Ia juga berinvestasi untuk kebutuhan keluarga dalam jangka panjang. Misalnya, untuk pendidikan anak, Hendra berinvestasi di saham PT Pakuwon Jati Tbk (PWON). Sementara untuk istrinya, ia membeli saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya