Liputan6.com, Jakarta Jalur Lintas Batas Negara tak bisa dianggap sebelah mata, karena jalur tersebut bisa bagaikan urat nadi dan putaran roda perekonomian masyarakat yang hidup dan beraktivitas di kawasan ini.
Penataan perlintasan Batas Negara (PLBN) di Entikong tentu saja menjadi harapan baru bagi warga negara yang selama ini melakukan kegiatan ekonomi mereka di lintasan kedua negara.
Tak bisa dipungkiri, warga negara yang hidup di kedua sisi perbatasan saling membutuhkan dan saling menyokong untuk kebutuhan sehari-hari.
Advertisement
Warga Malaysia yang tinggal di perbatasan, bisa dikatakan bergantung kepada hasil bumi warga Indonesia yang tinggal di Kabupaten Sanggau untuk kebutuhan mereka.
Seperti sayuran, buah-buahan, dan kebutuhan lainnya. Bahkan seorang warga Malaysia mengatakan, sebelum masa pandemi COVID-19, bisa dikatakan dia dan warga kampung lainnya yang tinggal di perbatasan hampir melakukan perlintasan 3 kali dalam seminggu untuk pergi ke pasar tradisional yang ada di Entikong.
Baca Juga
Demi Kebutuhan Pokok
Hal senada juga dilakukan warga negara Indonesia, mereka melakukan perlintasan untuk membeli barang kebutuhan pokok jadi yang kemudian dikonsumsi secara pribadi, ataupun dijual kembali.
Mulai dari susu hingga kebutuhan pokok barang jadi lainnya. Secara faktual menunjukkan serba-serbi di perlintasan sangatlah unik.
Sebut saja ibu Cinta, seorang warga negara Indonesia yang tinggal di kawasan Tebedu. Ia menyebutkan, karena batasan maksimal terlalu rendah yang disepakati kedua negara, membuat banyak warga yang kebetulan melakukan kegiatan perlintasan untuk membeli barang keperluan pokok yang kemudian dijual kembali di Kabupaten Sanggau, mengirimkan diam-diam demi menghindari batas biaya bebas masuk barang ke Entikong.
“ …mereka ini banyak yang bisnis runcit (warung sehari-hari), beli barang di Tebedu. Tapi karena batas RM600 itu, jadi banyaklah suka pakai jasa jalur hutan gitu kan. Karna sekali belanja dekat sini bisa habis seribu sampai mungkin beberapa ribu, kalau di jual lagi di Entikong dengan harga pajak, susahlah kan. Memanglah harga sini jauh murah dibanding sebelah, tapi namanya orang cari untung,” pungkasnya, seperti disampaikan tim BNN kepada wartawan, baru-baru ini.
Menurut Cinta, warga tersebut tetaplah melintas dengan cara resmi untuk berbelanja maupun pulang Kembali ke Entikong. Hanya saja, barang-barang yang sudah mereka beli yang melebihi kuota kesepakatan, dititipkan pada pihak tertentu yang kemudian membawanya melalui jalur-jalur tak resmi.
Advertisement
Patroli BNPP
Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Pengelolaan Lintas Batas Negara, BNPP, Murtono, S.STP, M.Si menyatakan, bahwa kesepakatan kedua negara harus tetap ditegakkan.
“Ini tetap masuk ke dalam kategori ilegal. Karena indikasi tersebut justru memberikan gambaran bahwa warga yang membeli barang-barang tersebut melebihi dari kuota yang sudah desepakati oleh kedua negara," ujarnya.
"Walau kuota yang desepakati sebesar maksimal 600 ringgit. Kami berkeyakinan indikasi warga yang membawa barang-barang tersebut melebihi kuota 600 ringgit. Karena kalau tidak, dia tidak akan khawatir akan dikenakan pajak ataupun pembebanan bea cukai pada barang yang dibawa,” lanjutnya menegaskan.
Oleh karenanya guna meminalisir, BNPP bersama Imigrasi dan Bea Cukai serta Satgas Pamtas secara berkala melakukan patroli bersama dalam rangka pengawasan pada jalur tidak resmi lintas batas negara.
Polemik jalur pedagangan di Lintas Batas Negara jalur darat khususnya, memang menjadi perhatian khusus pemerintah. Pasalnya, meskipun jauh di perbatasan, namun pergerakan ekonomi di bawah tagline perdagangan perbatasan tak bisa dipandang sebelah mata, karena selalu ada potensi ilegal demi mendapatkan keuntungan dari disparitas harga yang begitu besar.
(Tim BNPP)