LBH Surabaya Minta Pemkot Cabut Perubahan Aturan Pedoman Tatanan Normal Baru

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai, kewajiban rapid test atau tes cepat dirasa berat bagi buruh dan masyarakat terutama berpenghasilan rendah.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 20 Jul 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2020, 22:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Jalan MERR IIC Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendesak pemerintah kota (pemkot) mencabut Perwali Nomor  33 tahun 2020 perubahan Perwali nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi COVID-19 di Surabaya itu dianggap merugikan buruh dan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 ayat (2) huruf e Perwali itu mewajibkan para pekerja dan pelaku perjalanan masuk Surabaya wajib rapid test atau tes cepat dengan hasil nonreaktif. Meskipun tujuannya untuk melakukan screening belum tentu dikatakan aman dari COVID-19 

"Hal tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat terutama bagi pekerja yang berpenghasilan rendah," kata Ketua LBH Surabaya, Abdul Wachid, Senin (20/7/2020).

Mahalnya biaya rapid test atau tes cepat secara mandiri hingga jangka waktu berdurasi 14 hari ditengarai akan membuat kalangan pekerja yang masuk ke Surabaya akan terhambat. "Kualitas dari hasil rapid test tersebut tidak akurat," ucap Wachid.

Problem lainnya, lanjut Wachid, dalam Perwali Nomor 33 tahun 2020 ada pemberlakuan jam malam layaknya PSBB. Hal tersebut, dinilainya tidak tepat. Dia menuturkan, jam malam tidak terlalu berdampak dengan penurunan penyebaran COVID-19. 

"Pemberlakuan jam malam akan berpotensi melanggar hak, terutama bagi pedagang kecil/pekerja informal yang sedang mencari penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari diwaktu malam hari," tutur dia. 

Dia menambahkan, penerapan jam malam tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Jika merujuk dalam UU nomor 6 tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan beserta aturan turunannya Peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB terdapat persyaratan untuk menerapkan pembatasan mobilitas masyarakat.

"Yaitu adanya penetapan kementerian kesehatan untuk menerapkan PSBB bagi wilayah yang mengajukan PSBB, sedangkan Surabaya tidak menerapkan PSBB," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Selanjutnya

Lebih lanjut, pemberlakuan sanksi pada Pasal 34 Perwali nomor 33 tahun 2020 disebut LBH Surabaya tidak sah. Karena bertentangan dengan UU nomor 12 tahun 2011 sebagaimana diubah menjadi UU nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan peraturan perundangan yg mengatur perundang-undangan yang dapat memuat sanksi hanya UU/Perppu dan Perda.

"Sehingga produk hukum Perwali tidak bisa memuat sanksi. Karena pada hakikatnya pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat maka harus diatur ketentuan yang melibatkan masyarakat dalam hal ini DPRD sebagaimana tertuang dalam Perda," ujar Wachid.

Kebijakan dalam Perwali, tambah Wachid, membuktikan jika pemkot tidak mampu menangani pandemi dan tidak mampu untuk menjamin hak atas kesehatan masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut, LBH Surabaya meminta, pemkot mencabut Perwali nomor 33 tahun 2020. Menghentikan kewajiban penggunaan tes cepat, tidak memberlakukan sanksi.

"Pemkot Surabaya harus menjamin hak atas kesehatan masyarakat dengan tidak membuat kebijakan yg menyusahkan dan merugikan buruh dan masyarakat," ujar Wachid. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya