Tanggapan Akademisi soal Demo UU Cipta Kerja Berujung Ricuh

Akademisi menilai, demo tersebut merupakan bagian dari tatanan dan selalu ada potensi kericuhan di dalam setiap aksi unjuk rasa.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 11 Okt 2020, 18:30 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2020, 18:30 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Aksi demo di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Sejumlah akademisi buka suara terkait demo tolak Undang-Undang  Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Akademisi menilai, demo tersebut merupakan bagian dari tatanan dan selalu ada potensi kericuhan di dalam setiap aksi unjuk rasa. Selain itu, kaitan demonstrasi itu dengan Pilkada serentak 2020.

Pengamat sosial Universitas Brawijaya Malang, Wayan Suyadnya menuturkan, kericuhan-kericuhan yang terjadi di banyak daerah ketika aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, bisa jadi awal dari suatu kelompok yang tidak setuju dengan  pemberlakuan undang-undang dari pemerintah.

"Tetapi, bisa saja itu adalah akhir dari sebuah perlawanan, karena perlawanan perlawanan yang mereka perjuangkan selama ini, tidak pernah terdengar," ujar dia, ditulis Minggu, (11/10/2020).

Demonstrasi, kata Wayan, adalah bagian dari sebuah tatanan. Karena mereka datang melakukan dengan tujuan yang jelas. Oleh sebab itu, harus bisa membedakan antara sebuah kelompok dengan sebuah kerumunan.

"Mereka adalah bagian dari tatanan. Mereka adalah kelompok. Saya tidak sependapat kalau mereka dibilang kerumunan. Karena kerumunan tidak punya tujuan yang jelas. Faktanya, mereka (mahasiwa dan buruh) datang dengan tujuan yang jelas," ujar Wayan.

Wayan menuturkan, potensi kericuhan dalam sebuah demonstrasi selalu ada. Akan tetapi, bagaimana langkah pemerintah bisa mengendalikan. Misalkan, pada aksi kemarin, harusnya pemerintah bisa menemui para demonstran guna menampung suara demonstrans, sehingga bisa meminimalisir kericuhan.

Kedua, lanjut Wayan, kepolsian dan para demonstran harus terus berkomunikasi agar terjalin ketertiban.

"Para kelompok demonstran, juga harus saling terus komunikasi sesama kelompok demonstrans. Kenapa? Agar mereka tahu apakah di sekitaran mereka ada orang tak dikenal sebagai pengacau atau tidak?" lanjut Wayan.

Akan tetapi, kericuhan demi kericuhan terjadi di mana-mana ketika terjadi aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, menurut Wayan,  ada dua hal  yang dipertanyakan.

"Pertama, apakah demonstran tidak mematuhi aturan pengorganisasian yang telah disepakati? Atau justru kepoliisian melihat, bahwa dirinya bukan sebagai penjaga ketertiban, tetapi merasa dirinya sebagai lawan dari para demonstran," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Bagaimana Dampak ke Pilkada?

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Aksi demo di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Sementara itu, pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surochim Abdussalam mengungkapkan, demo menolak UU Cipta Kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap Pilkada serentak 2020 dan kandidat-kandidat yang diusung Parpol, termasuk PDIP.

"(Pengaruhnya) bukan ke kandidat. Pilkada lebih dominan dipengaruhi faktor kandidat dan figur. Kendati rekom memang berasal dari Parpol. Sepertinya gak ngaruh karena peristiwa itu,” kata dia.

Surochim menilai, efek bentrok saat demo UU Cipta Kerja di berbagai daerah terhadap Pilkada serentak relatif kecil. Termasuk yang terjadi di Surabaya.

"Ya karena tidak menaut langsung dengan Paslon dan case yang terjadi daerah. Proximity (unsur kedekatan) masih menjadi faktor dominan,” tegasnya.

Sejauh ini, lanjut Surochim, peristiwa nasional di Jakarta tidak cukup dominan dan signifikan mempengaruhi kontestasi politik lokal di daerah.

"Sebenarnya chaos-chaos itu bentuk perlawanan massa ke elit Jakarta. Jadi tidak menaut langsung dengan kandidat-kandidat yang sedang bertarung di Pilkada," ujar dia.

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya