Ramai soal Mural, Pakar Unair: Itu Simbol Perlawanan dan Kritik

Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa menyatakan, mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 20 Agu 2021, 05:15 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2021, 05:15 WIB
Mural Bertemakan Covid 19
Petugas PPSU Kelurahan Bukit Duri menyelesaikan mural bertema Covid-19 di Jakarta, Selasa (11/8/2020). Mural tersebut untuk mengingatkan warga agar selalu waspada dengan Covid-19 dan mencegahnya dengan 3M (Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Surabaya - Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa menyatakan, mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.

"Mural adalah salah satu bentuk streetart, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," ujarnya, Kamis (19/8/2021).

Mural berbeda dengan graffiti, walaupun sama-sama termasuk seni jalanan. Graffiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.

"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," sebut pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair tersebut.

Mengenai etika dan perizinan mengenai penempatan di ruang publik, Igak menanggapi bahwa hal tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi.

"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," jelasnya.

Dalam dimensi seni, tambahnya, wajar bila mural dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik ataupun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik.

"Untuk itu agak susah bila kita menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya," ungkapnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Mural Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia
Pesepeda melintasi mural bergambar sosok Bung Hatta di Jalan Pluit Raya III, Jakarta, Minggu (10/8/2020). Mural itu diharapkan menjadi media agar masyarakat selalu mengingat sejarah dan menghargai jasa para pahlawan dalam memerdekakan Tanah Air. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sama Halnya Baliho

Igak berpendapat mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis, yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan.

"Hanya bedanya, mereka yang ofisial punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini, akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," jelas pengajar mata kuliah Industri Kreatif tersebut.

Dalam era digital dimana semua orang bisa mengabarkan semua hal, siapapun yang menjadi sasaran kritik melalui mural perlu memperhatikan tanggapan yang akan diberikan.

"Karena apapun bisa menjadi sesuatu yang besar bila direspon dengan cara yang salah, dan bila ditanggapi secara reaktif maka kemungkinan akan semakin menggaungkan pesan dalam mural," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya