UU TPKS Dinilai Belum Efektif Redam Tindak Kekerasan Seksual, Begini Alasannya

Saat ini, menurut Rerie sapaan akrab Lestari, meski sudah ada UU TPKS belum efektif meredam tindak kekerasan seksual di masyarakat. Bahkan, belakangan ini terjadi tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 15 Mar 2023, 19:25 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2023, 19:25 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. (Istimewa)
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyatakan, lahirnya Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), harus dibarengi dengan komitmen kuat Pemerintah untuk melahirkan sejumlah aturan pelaksanannya, agar upaya negara melindungi setiap warga negara dari ancaman tindak kekerasan seksual segera terwujud.

"Sudah hampir setahun sejak UU TPKS disahkan, efektivitas UU itu untuk menjadi payung perlindungan korban kekerasan seksual belum memadai dalam mencegah sekaligus memutus rantai kekerasan seksual," katanya saat membuka diskusi daring bertema Efektivitas UU TPKS Meredam Kekerasan Seksual yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/3/2023).

Menurut Lestari, efektivitas UU TPKS mesti diletakkan dalam koridor kemampuan hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini.

Saat ini, menurut Rerie sapaan akrab Lestari, meski sudah ada UU TPKS belum efektif meredam tindak kekerasan seksual di masyarakat. Bahkan, belakangan ini terjadi tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Setidaknya, tambah Rerie, belum efektifnya UU TPKS saat ini disebabkan belum adanya aturan pelaksanaan, pemahaman aparat hukum terkait UU TPKS masih kurang dan sejumlah fasilitas penanganan korban juga belum efektif.

Reriemengajak para pakar dan masyarakat yang telah memperjuangkan lahirnya UU TPKS ikut mendorong lahirnya sejumlah aturan turunannya agar UU TPKS bisa segera diaplikasikan.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu prihatin pascalahirnya UU TPKS, sejumlah kasus tindak kekerasan seksual malah diselesaikan di luar pengadilan yang berujung damai dan merugikan korban.

Karena itu, tegas Rerie, yang harus dipastikan saat ini adalah optimalisasi perlindungan yang menjangkau komunitas rentan kekerasan seksual dan memberi kepastian hukum bagi seluruh warga negara.

KPAI Canangkan Status Darurat Kekerasan Seksual

Miris, Tanah Timur Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Dok. Freepik)

Komisioner KPAI Dian Sasmita mengungkapkan di saat status darurat kekerasan seksual sudah dicanangkan, kasus TPKS terhadap anak malah naik di Indonesia.

Dian juga berpendapat agar hak pemulihan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual tidak hanya diberikan pada saat kasus berlangsung, tetapi yang terpenting hak pemulihan anak juga diberikan pascakasus kekerasan seksual terjadi.

Dian berharap dalam sejumlah pasal UU TPKS dan aturan turunan tersebut harus mampu memastikan hak penanganan, pemulihan dan hak atas perlindungan bagi anak korban tindak kekerasan seksual.

Karena, tambah Dian, pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan misalnya, pelaku kekerasan yang merupakan tenaga pengajar tidak mendapat sanksi dan anak yang menjadi korban belum mendapat hak pemulihannya.

Selain itu, ungkapnya, proses hukum terkait kasus kekerasan terhadap anak seringkali terhenti, karena penyidik malah membebani keluarga korban untuk mencari bukti.

Dian mendorong agar aturan turunan UU TPKS juga memberi jaminan yang tegas terkait kasus anak sebagai pelaku kekerasan.

Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011 (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Deretan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan Tahun 2011 (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya