Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh nasional dari Jawa Timur Mohammad Tabrani berbarengan dengan lima tokoh nasional lainnya.
Mereka adalah Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, Kiai Haji Abdul Chalim dari Jawa Barat, dan Kiai Haji Ahmad Hanafiah dari Lampung.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 115/TK tahun 2023 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional. Jokowi lalu memberikan plakat kepada para ahli waris dari masing-masing Pahlawan Nasional.
Advertisement
Mohammad Tabrani Lahir di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904 dengan nama lengkap Mohammad Tabrani Soerjowitjitro.
Tabrani adalah sosok menjadi pencetus bahasa Indonesia saat Kongres Pemuda I pada 30 April 1926. Tabrani lahir dari pasangan R Pandji Soeradi Soerowitjitro dan ibu R Ayu Siti Aminah.
Tabrani sejak muda dikenal memiliki pikiran cemerlang mengenai bahasa Indonesia. Dia dikenal sebagai jurnalis dan politikus berdarah Madura yang getol melawan kolonialisme, terutama terkait diskrimasi terhadap ras dan suku bangsa.
Karir wartawan Tabrani dimulai dengan bekerja pada harian Hindia Baru. Kemudian, Tabrani menjadi pemimpin majalah Reveu Politik di Jakarta dari 1930 hingga 1932, pemimpin surat kabar Sekolah Kita di Pamekasan dari tahun 1932-1936.
Tabrani kembali menjadi pemimpin redaksi pada surat kabar Pemandangan. Tabrani menjabat selama dua periode yaitu Juli 1936 hingga Oktober 1940 dan Juli 1951 hingga April 1952.
Melalui surat kabar Pemandangan, Tabrani memperjuangakan Petisi Sutardjo yang berisi tuntutan kepada pemerintah Hindia Belanda agar Indonesia diberi kesempatan membentuk parlemen sendiri pada tahun 1936.
Pada tahun 1940, Tabrani bergabung dengan Dinas Penerangan Pemerintah bagian jurnalistik dan selanjutnya pindah ke bagian kartotek dan dokumentasi.
Pada tahun 1940 juga, Tabrani pernah menjabat sebagai ketua umum PERDI atau Persatuan Djurnalis Indonesia di Jakarta periode 1939 hingga 1940.
Disebut Negro oleh Belanda
Tabrani pernah dikatai negro saat baru tiba di Belanda pada 1927. Namun, dia tak berkecil hati. Tabrani justru melawan.
"Pengalaman saya di Belanda di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan olahraga, jangan sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan kita akan lebih lantas-angan," cerita Pegiat Jejak Republik Priyantono Omar menirukan Tabrani dalam diskusi bertajuk “Tabrani dan Masa Depan Bahasa Indonesia” di PDS HB Jassin, Jumat, 5 Agustus 2022.
Pri—panggilan akrab Priyantono—mengatakan, kesadaran Tabrani terhadap persatuan Indonesia sudah muncul sejak remaja. Ketika masih sekolah di OSVIA, Tabrani menulis di majalah Jong Java.
"Apa gunanya Jawa Raya, jika bagian lain Hindia masih jauh tertinggal dalam banyak hal?" tanya Tabrani di majalah Jong Java, edisi 1 dan 15 Oktober 1924.u itu, masih jarang pemuda Indonesia menuntut pelajaran ilmu jurnalistik di luar negeri. Bahkan, disebutkan hanya beberapa orang saja, seperti, Djamaluddin Adinegoro, Jusuf Jahja, dan Tabrani.
Advertisement
Berseteru dengan Mohammad Yamin soal Bahasa
“Bahasa Indonesia tidak ada; Tabrani tukang ngelamun.”
Demikian petikan dari ucapan Mohammad Yamin yang dicatat dalam karya tulis Sebuah Otobiografi M. Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal (halaman 42), dikutip dari badanbahasa.kemdikbud.go.id.
Dalam tulisan itu, Yamin disebutkan sedang "naik pitam" karena Tabrani menyetujui seluruh pidato Yamin, tetapi menolak konsep usul resolusinya pada Kongres Pemuda Pertama 1926 (butir ketiga: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu).
Pada kesempatan itu, M. Tabrani bertindak sebagai Ketua Kongres dan berpandangan sebagai berikut.
“Alasanmu, Yamin, betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun, saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.”
Atas perbedaan pendapat antara Yamin dan Tabrani tersebut, kebijaksanaan yang diambil adalah keputusan terakhir itu ditunda sampai dengan Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928.
Pesan Kongres Pemuda Pertama dititipkan kepada M. Yamin dengan catatan penting bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia. Terbukti bahwa Yamin selaku penulis dalam Kongres Pemuda Kedua menunaikan tugasnya dengan baik.
Kongres Pemuda Kedua (Sugondo Joyopuspito sebagai Ketua Kongres) tidak membicarakan usul Yamin tersebut dalam rapat panitia, tetapi langsung membawanya dalam sidang umum dan Kongres menerima usulan Yamin dengan suara bulat.
“Kebulatan Tekad Pemuda” (dalam istilah Sanusi Pane atau “Ikrar Pemuda” dalam konsep Yamin) dikenal hingga sekarang sebagai Sumpah Pemuda.
Wafat 12 Januari 1984
Sang penggagas bahasa persatuan Indonesia wafat pada 12 Januari 1984. Dia dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Untuk mengenang jasa-jasa M Tabrani, Tanda jasa Perintis Kemerdekaan telah dianugerahkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Tanda jasa itu masih perlu ditambahkan. Melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan penghargaan negara berupa gelar pahlawan nasional kepada M. Tabrani karena gagasan besarnya melahirkan bahasa Indonesia yang mempersatukan beragam anak bangsa ini.
Tepat hari ini, 10 November 2023 Mohammad Tabrani secara resmi dinobatkan penjadi Pahlawan Nasional.
Advertisement