Agar Tujuan Network Sharing Tercapai Harus Ada Regulasi Tambahan

Pemerintah diimbau untuk berhari-hati dalam menetapkan kebijakan network sharing.

oleh Iskandar diperbarui 16 Sep 2016, 13:40 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2016, 13:40 WIB
BTS
Ilustrasi BTS (ittelecomdigest.com)

Liputan6.com, Jakarta - Supaya berjalan sesuai rencana, sepertinya pemerintah akan terus mendorong revisi Peraturan Pemerintah (PP) 52 dan 53 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi. Tujuannya agar network sharing dapat diberlakukan secepat mungkin.

Pada acara diskusi bertajuk Implementasi Network Sharing dalam Persaingan Usaha, Dr Fahmy Radhi, MBA Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM mengatakan, pemerintah harus berhari-hati dalam menetapkan kebijakan network sharing.

Jika tidak hati-hati, maka pembangunan infrastrktur telekomunikasi di daerah terpencil dan perbatasan akan mandek. Bila pemerintah menerapkan network sharing saat ini, menurut Fahmy, kebijakkan tersebut tergolong prematur.

"Sebelum menerapkan network sharing, seharusnya pemerintah terlebih dahulu bisa menciptakan kematangan jaringan yang mampu menjangkau konsumen di seluruh wilayah di suatu negara (mature network)," tegas Fahmy melalui keterangan tertulisnya, Jumat (16/9/2016) di Jakarta.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga membuat gap kepemilikan jaringan antaroperator rendah (low coverage gap). Kunci keberhasilan dari network sharing selanjutnya adalah tidak ada operator yang dominan.

Jika network sharing ini benar-benar dipaksakan, Fahmy meminta agar pemerintah mau membuat regulasi yang bisa memaksa seluruh operator penyelenggara jaringan telekomunikasi--seperti Indosat dan XL membangun jaringan di daerah terpencil dan perbatasan yang terbilang tidak menguntungkan.

Selain adanya aturan mengenai kewajiban operator untuk membangun di daerah terpencil dan perbatasan, Fahmy mengatakan bahwa pemerintah juga harus memberikan kopensasi yang sesuai bagi pemilik jaringan telekomunikasi yang telah terlebih dahulu membangun di daerah tersebut.

“Seharusnya ada regulasi tambahan yang bisa memaksa operator telekomunikasi untuk membangun jaringan dan pemberian kopensasi yang sesuai. Tujuannya agar mengurangi dampak mandeknya pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil. Intinya, pemerintah selaku regulator harus menjamin tidak ada operator yang dirugikan,” tutur Fahmy.

Menurutnya, sebelum network sharing diimplementasikan, seharusnya pemerintah membuat dahulu blue print pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia. Tujuannya agar efisiensi yang dicita-citakan di industri telekomunikasi dapat tercapai.

Sementara Ir Prakoso, Wakil Ketua Desk Cyberspace Nasional Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan mengatakan, selain regulator yang saat ini belum memiliki blue print pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia, sampai saat ini belum ada kajian teknis yang terpublikasikan dari regulator tentang penjelasan network sharing yang bersifat aktif maupun pasif memenuhi standar keamanan dan ketahanan informasi.

“Kajian teknis tersebut menurut saya sangat penting sebagai bentuk akuntabilitas publik,” ujar Prakoso.

Sedangkan Ahli Ilmu Perundang-undangan Sony Maulana Sikumbang mengatakan, dalam Undang-Undang No 36 tahun 1999 dan PP No 52 tahun 2000, secara implisit melarang penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk menyewa jaringan telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi.

“Jadi network sharing hanya dimungkinkan antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan. Bukan antar-penyelenggara jaringan telekomunikasi,” terang Sony.

Jika ingin menerapkan network sharing, Sony menyarankan agar pemerintah mau mengubah UU telekomunikasi yang ada. Menurutnya, UU telekomunikasi yang ada sudah tidak bisa mengakomodasi lagi kebutuhan industri telekomunikasi.

Menurut Sony, jika pemerintah mengubah perundang-undangan menempuh cara tambal-sulam, maka kepentingan nasional seperti anti-monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan terabaikan. Mengubah UU bisa dilakukan dengan berbagai cara. Cara taktis adalah melakukan judicial review di Mahkamah Agung.

(Isk/Cas)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya