Pengamat Pertanyakan Penyelenggara Jartaplok Boleh Ikut Lelang Frekuensi 1,4 GHz

Pengamat Telekomunikasi menilai izin penggunaan frekuensi yang selama ini diperuntukkan bagi operator seluler, sangat aneh jika sekarang Komdigi melelang frekuensi 1,4 GHz untuk penyelenggaraan jartaplok.

oleh Iskandar Diperbarui 21 Feb 2025, 21:09 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2025, 21:00 WIB
70% Pengguna Internet Takut Datanya Disadap
Ilustrasi pengguna internet (anthillonline.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru saja merampungkan konsultasi publik terkait rancangan peraturan menteri (RPM) tentang penggunaan frekuensi 1,4 GHz.

Pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, menyoroti beberapa poin penting dari konsultasi publik tersebut.

Dalam draf RPM, Komdigi berencana mengizinkan seluruh pemegang izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched (jartaplok) untuk mengikuti lelang frekuensi 1,4 GHz.

Heru mempertanyakan kebijakan ini, karena menurutnya lisensi jartaplok yang diberikan Komdigi seharusnya diperuntukkan bagi penyelenggara telekomunikasi berbasis fiber optik, bukan frekuensi.

"Izin penggunaan frekuensi selama ini diperuntukkan bagi operator seluler. Aneh jika sekarang Komdigi melelang frekuensi 1,4 GHz untuk penyelenggaraan jartaplok," ujar Heru melalui keterangannya, Jumat (21/2/2025).

Ia menduga, penyelenggara jartaplok yang meminta frekuensi memiliki rencana bisnis lain dengan frekuensi tersebut.

Heru mendesak Komdigi untuk mengevaluasi kebutuhan frekuensi bagi penyelenggaraan jartaplok sebelum mengizinkan mereka mengikuti lelang 1,4 GHz.

 

 

Berpotensi Merusak Industri Telekomunikasi

Menurutnya, Komdigi seharusnya mendorong pemegang izin jartaplok untuk memprioritaskan pembangunan jaringan telekomunikasi berbasis fiber optik, sesuai dengan komitmen yang mereka buat saat mendapatkan izin penyelenggaraan.

"Jangan sampai mereka belum memenuhi komitmen pembangunan jartaplok, mereka sudah diperbolehkan mengikuti lelang frekuensi 1,4 GHz. Ini akan menunda objektif pemerintah untuk mempercepat penetrasi broadband di Indonesia," Heru menambahkan.

Lebih lanjut, Heru khawatir kalau penyelenggara jartaplok mendapatkan frekuensi 1,4 GHz, kondisi ini akan merusak industri yang sudah ada. Sebab, biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi 1,4 GHz jauh lebih murah ketimbang seluler.

"Komidigi seharusnya mendesak pemegang izin jartaplok untuk membangun fiber optik, bukan malah mengizinkan mereka ikut lelang frekuensi 1,4 GHz. Lelang ini justru akan menambah jumlah pemain, padahal Komdigi sejak lama ingin terjadi konsolidasi penyelenggara telekomunikasi," ucap Heru.

Pengalaman Buruk Jangan Sampai Terulang

Heru juga meminta Kominfo untuk memperhatikan kekuatan modal peserta lelang frekuensi 1,4 GHz. Ia mengingatkan pengalaman buruk ketika frekuensi dikuasai oleh pihak-pihak yang hanya ingin mempercantik laporan keuangan perusahaan untuk dijual kembali.

"Ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Jangan sampai frekuensi dikuasai perusahaan yang hanya ingin melakukan 'makeup' laporan keuangan dan menaikkan nilai perusahaan. Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak akan mendapatkan manfaat dari frekuensi jika tujuannya hanya itu," Heru memungkaskan.

Indonesia memiliki pengalaman buruk ketika Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang menguasai frekuensi. Karena kekuatan finansialnya terbatas, mereka menjual ke Saudi Telecom Company (STC). Setelah itu, STC yang memiliki brand Axis dijual ke XL Axiata.

Selain itu, frekuensi 2100 Mhz 1800 MHz milik negara juga pernah dikuasai Cyber Access Communication (CAC). Namun karena kekuatan finansialnya terbatas, sebagian besar saham CAC dialihkan ke Hutchison Telecom pada 2006 .

Infografis Nyepi di Bali tanpa Internet

Infografis Nyepi di Bali tanpa Internet
Infografis Nyepi di Bali tanpa Internet... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya