Serikat Pekerja BUMN Nilai Menkominfo Tak Tegas terhadap Asing

Terkait rencana implementasi network sharing, Federasi Serikat Pekerja BUMN menilai Menkominfo tak tegas terhadap perusahaan asing

oleh Muhammad Sufyan Abdurrahman diperbarui 26 Sep 2016, 15:07 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2016, 15:07 WIB
Network sharing
Demo Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis dan Sekar Telkom di DPR memprotes kebijakan interkoneksi dan network sharing di DPR, 30 Agustus lalu.

Liputan6.com, Bandung - Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis menilai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara tidak tegas terhadap perusahaan asing terkait penerapan regulasi berbagi jaringan (network sharing).

Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto, pihaknya berupaya untuk memperjuangkan rencana penerapan regulasi tersebut. Alih-alih memproteksi BUMN, Kemkominfo justru melempar tanggung jawab ke Kementerian Perekonomian. 

"Ketika kami perjuangkan, juru bicara Kemkominfo menyebut kami salah alamat. Ini agak ironis karena objeknya adalah industri telekomunikasi. Mengapa harus lempar tanggung jawab kepada Menko Perekonomian?" ujarnya di Bandung, Minggu (25/09/2016) lalu.

Meski masih dalam penggodokan regulasi, implementasi network sharing telah dimulai oleh Indosat dan XL yang melakukan kerja sama jaringan 4G di beberapa wilayah. Dalam hal ini, tak semua operator menyambut positif hal ini.

Lebih lanjut, kata Wisnu, sekalipun pembahasan usulan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 52 dan PP 53 tentang network sharing di bawah Menko Perekonomian. Namun proses perubahan peraturan pemerintah lazimnya berasal dari departemen/kementerian teknis.

Jika kebijakan ini dilaksanakan, tiap operator telekomunikasi di Indonesia wajib membagi jaringan telekomunikasinya kepada operator lain yang notabene kompetitornya. Padahal, di sisi lain, model bisnis yang bersifat wajib ini belum dikenal sama sekali dalam UU Nomor 36 Tahun 1999.

Regulasi ini bila dianalogikan dalam bisnis penerbangan, network sharing sama dengan regulator mewajibkan Lion Air yang punya armada banyak membagi kursi penumpangnya mengangkut penumpang airline lain yang menjadi pesaingnya.

"Padahal, infrastruktur atau alat produksi adalah keunggulan utama bisnis. Aset itulah yang menjadi modal sebuah perusahaan bersaing di arena bisnis yang kompetitif. Makanya, kami menyiapkan permohonan judicial review ke MA jika perubahan PP itu diterbitkan," ujarnya.

Alasan lainnya, Menkominfo dinilai terlalu lembut dalam menindaklanjuti Google yang menolak membayar pajak, yang mana begitu lamanya proses pengambilan masukan masyarakat usai diterbitkannya Surat Edaran No.3/2016 per 31 Maret 2016 soal rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur OTT (Over The Top).

Meski sudah lebih dari enam bulan, Menkominfo belum juga memutuskan. Alhasil, saat Menteri Keuangan memburu pajak Google dan perusahaan OTT lainnya, Menkominfo terkesan tergopoh-gopoh dan hanya bisa menghimbau Google membayar pajak.

"Seharusnya sejak dulu Menkominfo paksa Google membuka kantor tetap di Indonesia, sehingga omzet iklan digitalnya yang triliunan rupiah per tahun itu bisa dikenakan pajak," jelasnya. 

Menurut Wisnu, hal itu sekaligus dapat memproteksi operator telekomunikasi yang terus tertekan OTT. "Eh ini malah membuat kebijakan timpang seperti network sharing dan tarif interkoneksi yang membuat kegaduhan tidak perlu," pungkas Wisnu.

(Msu/Cas)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya