Liputan6.com, Jakarta - Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, dianggap tak produktif bagi industri telekomunikasi.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menuturkan, kedua revisi tersebut telah menimbulkan polemik. Hal itu dianggapnya akan memperlambat tujuan pemerintah dalam mendorong percepatan dan perluasan ketersediaan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia.
“Saat ini revisi kedua PP itu menimbulkan polemik di wilayah publik, energi kita semua habis untuk membahas dan saling mempertentangkan. Ini tentunya menjadi tidak produktif dan kalau dibiarkan berlarut-larut akan memperlambat tujuan pemerintah dalam mendorong percepatan dan perluasan ketersediaan broadband di seluruh wilayah Indonesia,” kata Agus melalui keterangan resminya, Selasa (25/10/2016).
Agus menambahkan, praktik berbagi jaringan--baik aktif maupun pasif--jamak dilakukan oleh para operator di berbagai belahan dunia, sehingga tak ada alasan kenapa hal tersebut tidak dapat dilakukan di Indonesia.
"Dengan berbagi, akan memberikan kesempatan dan akses yang semakin merata bagi masyarakat, industri menjadi lebih efisien dan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi juga bisa semakin cepat meluas sehingga masyarakat yang menikmati layanan tersebut juga semakin merata, telah terjadi penurunan tarif, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan makin menurun, ekonomi daerah bisa semakin tumbuh, dan sebagainya," paparnya.
Baca Juga
Agus menyebut, saat ini makin banyak pihak yang ikut campur dalam polemik revisi PP 52 dan 53 tahun 2000, dengan berbagai kepentingan masing-masing.
"Ini tentu menjadi tidak obyektif lagi, karena masing-masing pihak merasa paling benar dan bersikukuh dengan kebenaran versinya tersebut. Sebaiknya, dikembalikan saja ke esensi dasarnya yakni apa manfaatnya untuk masyarakat,” ujarnya.
Agus menyarankan, semua pihak yang terlibat dalam polemik ini harus segera sadar bahwa semakin tidak menentu dan terselesaikannya revisi PP 52/53 tahun 2000 ini, akan semakin memperlama upaya pemerintah untuk mempercepat pemerataan penyediaan infrastruktur telekomunikasi, sehingga masyarakat di pelosok juga akan semakin lama mendapatkan akses dan kesempatan yang sama dalam menikmati layanan telekomunikasi.
"Ini juga berarti bahwa upaya untuk mencegah revisi PP sehingga menjadi polemik seperti ini, dapat dianggap sebagai melawan kepentingan nasional dan agenda pemerintah karena menghambat pembangunan negara," pungkasnya.
Sementara Pengamat dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyarankan semua pihak mempercayakan pengaturan industri telekomunikasi pada Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagai regulator industri.
“Isu yang digulirkan bahwa penggunaan jaringan secara bersama akan merugikan negara, saya pikir tidak berdasar dan mengada-ada. Justru industri akan efisien, dan bergairah sehingga bisa membayar pajak lebih besar," jelasnya.
Penghematan biaya dengan network sharing, papar Heru, justru juga bisa digunakan untuk memperluas jaringan dan memberi layanan lebih berkualitas pada pengguna untuk adopsi teknologi mutakhir.
(Isk/Cas)