Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, ada salah satu warganet remaja berusia 16 tahun yang mengunggah video mengejutkan.
Usut punya usut, video tersebut berisi hinaan ke Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Saat diamankan polisi, ia mengaku sangat menyesal dan tidak berniat menghina presiden.
Baca Juga
Sebelumnya, banyak kasus remaja yang tersangkut masalah gara-gara sikapnya di media sosial (medsos). Lalu, mengapa fenomena demikian kian marak?
Advertisement
Psikolog sekaligus Direktur Pusat Psikologi Terapan FPISB UII, Ratna Syifa’a Rachmahana, menjabarkan terkait perilaku reaktif warganet yang ada di media sosial. Ia berpendapat kalau media sosial sebetulnya berbentuk seperti mata uang.
"Media (sosial) itu kan seperti mata uang. Sisi positif dan negatif itu seimbang. Seseorang itu tinggal bisa memilih untuk mengoptimalkan yang positif atau negatif," ujarnya kepada Brilio.net.
Ia melanjutkan, efek negatif medsos bagi remaja memang tidak bisa diabaikan. Karena akan berdampak pada kepribadiannya di masa depan.
"Orang jadi lebih cenderung sesuatu yang instan, cepat berubah. Sehingga budaya untuk literasi berkurang. Budaya untuk memahami sesuatu secara utuh itu kadang menjadi diabaikan. Orang cenderung langsung lihat sesuatu bereaksi," imbuhnya.
Hampir setiap hari melihat berita-berita kekerasan membuat rasa empati tergerus. Orang tua harus menjadi pencegah utama dalam menangkal itu semua.
"Mestinya ada waktu-waktu bersama yang di mana duduk bersama ngobrol, anak dengan orangtua, di situ tidak ada yang memegang gadget," pungkasnya..
Media Sosial Picu Krisis Kepercayaan Diri pada Remaja
Menurut pengamatan Jean Twenge, psikolog di San Diego State University, media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, ternyata bisa memicu krisis kepercayaan diri bagi pengguna--khususnya kalangan remaja.
Twenge berujar, media sosial menciptakan pola keterikatan secara rutin, yang 'mengikat' pengguna untuk terus membukanya demi mengakses informasi.
"Akan tetapi, sayangnya ini juga mengisolir mereka. Akibatnya, para remaja tidak memiliki waktu untuk keluarga dan teman-temannya. Kontak sosial mereka seolah-seolah terblokir," kata Twenge.
Karena terisolir, remaja akan terus mengandalkan media sosial sebagai temannya. Di saat lingkungan sekitar dapat menerima keterbukaan informasi yang lebih agresif, ia justru akan menjadi yang tertinggal.
"Media sosial itu memang menghubungkan pengguna, entah dengan ke pengguna lain atau ke informasi baru. Padahal tidak juga, ini dapat mengurangi rasa percaya diri mereka. Mereka lupa kontak sosial lebih berguna. Kontak sosial banyak bentuknya, menerima informasi baru dari mulut ke mulut, berkomunikasi dengan kerabat, dan masih banyak lagi," lanjutnya.
Menurut Twenge, masalah terjadi pada remaja yang lahir di periode 1995-2012. Generasi ini sudah mengenal smartphone dan menganggapnya sebagai perangkat utama.
Mirisnya, jumlah remaja yang lahir pada periode tersebut mengaku jarang menemui teman-temannya. "Sejak 2000, mengalami penurunan 40 persen. Dan pada 2015, cuma ada 56 persen remaja yang pergi bersosialisasi," imbuh Twenge.
Twenge juga mengungkap, remaja modern ini juga dianggap lambat untuk belajar dan berkembang. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar, terus-terusan 'tenggelam' di dalam linimasa media sosial.
"Mereka bisa stress dan depresi karena terus-terusan seperti ini," ucapnya.
Advertisement
Berujung pada Depresi
Sebelumnya, penelitian juga mengungkap media sosial dapat memicu efek depresi pada pengguna remaja. Penelitian telah dilakukan ke subjek kalangan remaja berumur 13-17 tahun yang sering menggunakan smartphone-nya untuk 'berinteraksi' di jejaring sosial.
Mengutip informasi laman The Independent, penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti asal Kanada, International Association of Cyber Psychology, Training & Rehabilitation (iACToR) dengan melakukan observasi pada 750 subjek yang merupakan remaja dari berbagai institusi pendidikan di wilayah Ontario.
Penelitian yang juga dipublikasikan lewat jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking ini mengungkap penggunaan medsos yang terlampau berlebihan rupanya mampu menunjukkan indikasi si pemilik jejaring sosial memiliki masalah gangguan mental dan memicu depresi.
"Kapasitas penggunaan jejaring sosial harusnya dibatasi sebagaimana mestinya. Jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu berjam-jam, hal tersebut akan menciptakan rasa candu bagi para pengakses," ungkap tim peneliti.
Menurutnya, hal itu mengubah cara pandang pengguna bahwa jejaring sosial termasuk ke hal primer di dalam kehidupan pengguna. Bahayanya, penggunaan jejaring sosial secara berlebihan dapat berdampak negatif pada penggunanya.
"Jejaring sosial berfungsi sebagai alat komunikasi dan pencari informasi jika memang dibutuhkan. Namun hal tersebut bisa berubah fungsi 360 derajat menjadi sebuah 'pengisi dahaga' penggunanya ketika sedang kesepian," tambahnya.
Observasi yang telah dilakukan tim peneliti menyimpulkan sebagian besar dari 750 subjek anak remaja tersebut memang kerap kali tidak memiliki kegiatan apa-apa khususnya pada waktu malam hari. Oleh karena itu, mereka mengakses jejaring sosial sebagai 'teman' agar bisa mengisi kesepian mereka.
"Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami tanda depresi, jika ini terus dilakukan, mereka akan melakukan hal lebih ekstrem seperti tindakan bunuh diri atau cyberbullying," tukasnya.
Mereka menambahkan, seharusnya ketika kesepian para anak remaja bisa melakukan kegiatan positif yang lebih menggaet mereka ke perkembangan fisik dan mental yang lebih sehat, seperti berolahraga, membaca buku, mendengarkan musik dan masih banyak lagi.
"Sudah seharusnya fungsi dari jejaring sosial dibatasi. Selagi masih ada waktu dan belum terlambat, kini peran orang tua yang harus mengawasi anak mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Reporter: Ahada Ramadhana
Sumber: Brilio.net
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: