Rencana Kuasai Pasar Dunia Terganjal, Huawei Rombak Target Internal

Rencana Huawei untuk menguasai pasar smartphone dunia pada 2020 tidak berjalan mulus.

oleh Andina Librianty diperbarui 08 Jun 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2019, 14:00 WIB
Salah satu toko resmi Huawei di Beijing, China (AP/Mark Schiefelbein)
Salah satu toko resmi Huawei di Beijing, China (AP/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana Huawei untuk menguasai pasar smartphone dunia pada 2020 tidak berjalan mulus. Pemblokiran perdagangan oleh Amerika Serikat (AS) membuat Huawei merombak rencananya itu.

Dikutip dari Phone Arena, Sabtu (8/6/2019), Presiden Honor, Zhao Ming, mengatakan Huawei sedang mencari cara untuk menyesuaikan target internalnya.

Menurutnya, masih terlalu dini untuk menilai apakah Huawei mampu mencapai target yang telah ditetapkan saat ini, meski segalanya sedang tidak berjalan dengan baik.

Pemblokiran perdagangan oleh AS memengaruhi penjualan serangkaian produk Huawei. Honor sendiri merupakan sub-brand dari Huawei.

Menurut sejumlah sumber, perusahaan manufaktur Foxconn baru-baru ini menutup jalur produksi Huawei. Hal ini dilakukan karena Huawei tiba-tiba mengurangi pesanan produksi ponsel disebabkan melemahnya penjualan karena masalah pemblokiran tersebut.

Sejauh ini belum diketahui pemangkasan produksi Huawei tersebut bersifat sementara atau jangka panjang. Namun, hal itu sekaligus memberikan dampak negatif terhadap Foxconn.

Terlebih lagi, Foxconn pada awal tahun ini dilaporkan merekrut banyak pekerja baru untuk memenuhi peningkatan permintaan produksi smartphone Huawei.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

Huawei: Kami Bukan Ancaman Keamanan Siber AS

Logo Huawei
Huawei (Foto: Huawei)

Hubungan raksasa teknologi asal Tiongkok, Huawei dengan pemerintah AS semakin memanas. Berusaha mendinginkan suasana, Huawei menyatakan kalau perusahaannya bukan ancaman keamanan siber bagi negara adidaya tersebut.

Chief Legal Officer Huawei, Song Liuping, mengatakan tidak ada jaminan siber AS bakal aman, meski Huawei tidak beroperasi di sana.

"Pelarangan terhadap Huawei dengan alasan keamanan siber tidak menjadi jaminan bahwa jaringan telekomunikasi AS akan lebih aman. Upaya tersebut tidak tepat dan menggiring opini yang tidak tepat terkait tantangan keamanan siber bersama yang kita hadapi saat ini," ungkap Song dalam keterangan resmi yang diterima Tekno Liputan6.com, Rabu (29/5/2019).

Huawei secara spesifik merasa keberatan dengan pemberlakuan pasal 889 Undang-Undang Keamanan Nasional (NDAA) 2019 tentang pelarangan kerjasama AS (dan seluruh lembaga di dalamnya) dengan Huawei.

"Pemerintah AS tak dapat menunjukkan bukti yang menunjukkan Huawei sebagai ancaman keamanan. Tidak ada senapan, tentu tidak akan muncul api. Benar-benar seperti tembakan penuh spekulasi," kata Song.

Bukan hanya terkait keamanan siber, Huawei juga menyinggung soal dimasukkannya perusahaan ke daftar hitam Kementerian Perdagangan AS. Song menilai hal itu merupakan preseden berbahaya, yang membuat industri telekomunikasi menderita.

Sementara, penasihat hukum Huawei, Glen Nager, menambahkan pasal 889 NDAA bertentangan dengan prinsip “Bill of Attainder, Due Process, dan Vesting Clauses” yang tercantum dalam konsitusi negara AS. Kasus ini dipandang sebagai kasus hukum murni, yang ditandai dengan tidak adanya fakta.

(Din/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya