Penelitian: Permukaan Air Tanah Naik Setelah Gempa Besar

Para peneliti dari Kumamoto dan Kwansai Gakuin Universities, serta UC Berkley meneliti perubahan level air tanah di sekitar Kota Kumamoto setelah gempa besar melanda daerah tersebut pada 2016.

oleh Andina Librianty diperbarui 04 Jul 2020, 14:11 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2020, 14:10 WIB
20151111-Ilustrasi Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti dari Kumamoto dan Kwansai Gakuin Universities, serta UC Berkley meneliti perubahan ketinggian air tanah di sekitar Kota Kumamoto setelah gempa besar melanda daerah tersebut pada 2016.

Dikutip dari Phys.org, perubahan dalam lingkungan hidrologis setelah gempa bumi, seperti kolam atau sumur mengering, kemunculan tiba-tiba air mengalir, atau kenaikan permukaan level air telah dicatat sejak zaman Romawi.

Berbagai teori telah diajukan sebagai penyebab perubahan tersebut, seperti fluktuasi tekanan air pori, peningkatan permeabilitas air, dan pergerakan air melalui retakan batu.

Untuk mengidentifikasi penyebab sebenarnya, data harus dikumpulkan dari lokasi pengamatan di sumur, sumber air, dan sungai.

Kota Kumamoto di pulai Kyushu Jepang Selatan, terkenal dengan airnya. Hampir seratus persen air minum kota bersumber dari air tanah di wilayah tersebut, sehingga banyak sumur atau mata air oberservasi di sana.

Pada 16 April 2016, gempa melanda kota yang menghasilkan banyak data air tanah sebelum dan sesudahnya. Para peneliti Kumamoto University menyadari peluang unik ini untuk menilai bagaimana gempa bumi dapat mengubah lingkungan hidrologis secara lebih rinci dibandingkan sebelumnya. Maka, mereka membuat kolaborasi internasional untuk mempelajari peristiwa tersebut.

II

Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Berdasarkan penelitian ini, kenaikan permukaan air tanah yang tidak normal terjadi setelah guncangan utama, dan terutama terlihat di daerah resapan sistem aliran air tanah. Level air memuncak dalam setahun setelah guncangan utama sekira 10 meter. Meskipun mereda setelahnya, level air masih tinggi lebih dari tiga tahun kemudian.

Hal tersebut diduga disebabkan perpindahan air dari suatu tempat yang bukan bagian dari siklus hidrologi pragempa bumi. Lalu para peneliti berupaya untuk menentukan sumbernya dengan menggunakan rasio isotop stabil dari air.

Rasio isotop stabil air di permukaan Bumi sedikit berubah dengan berbagai proses, seperti penguapan dan kondensasi, sehingga itu menjadi nilai penanda unik tergantung pada lokasi. Penanda ini memungkinkan untuk menentukan proses yang memengaruhi sampel air serta sumbernya.

III

Sebuah perbandingan setelah dan sesudah rasio isotop stabil mengungkapkan bahwa air tanah sebelum gempa bumi di daerah Kota Kumamoto terutama berasal dari akuifer dataran rendah gunung, air tanah di daerah resapan, dan rembesan dari area sungai pusat Shirakawa.

Setelah gempa bumi, para peneliti percaya bahwa fraktur seismik di sisi barat Gunung Aso di Prefektur Kumamoto, juga meningkatkan permeabilitas akuifer gunung yang melepaskan air tanah ke daerah resapan sistem aliran, dan meningkatkan level air.

Selain itu, level air di daerah aliran keluar yang turun segera setelah guncangan utama hampir pulih dalam setahun.

"Penelitian kami adalah yang pertama untuk menangkap perubahan lingkungan hidrologis yang disebabkan gempa bumi besar secara rinci," kata pemimpin penelitian, Associate Professor Takahiro Hosono, seperti dikutip dari Phys.org, Sabtu (4/7/2020).

"Fenomena yang kami temukan dapat terjadi di mana saja di Bumi dengan iklim dan kondisi geologis mirip dengan Kumamoto. Kami berharap penelitian kami akan berguna dengan baik bagi akademisi dan pembentukan pedoman untuk penggunaan air regional dalam bencana," tutur Takahiro Hosono.

(Din/Why)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya