Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, Jaksa Agung negara bagian Texas melayangkan gugatan pelanggaran antitrust alias monopoli terhadap Google, khususnya dalam hal praktik periklanan (ad).
Adapun gugatan yang dilayangkan oleh Jaksa Agung Texas, Ken Paxton menyebutkan, Google secara tidak sah memperoleh, berusaha memperoleh, atau mempertahankan monopoli dalam pasar iklan online.
Tak hanya itu, Paxton juga menuduh raksasa mesin pencari itu telah terlibat dalam pelanggaran hukum dimana pengiklan harus memakai tool khusus jika ingin beroperasi di bursa iklan Google.
Advertisement
Baca Juga
"Google berulang kali menggunakan kekuatannya untuk memonopoli dan mengontrol harga dalam iklan online," ucap Paxton, sebagaimana dikutip dari The Verge, Kamis (17/12/2020).
Salah satu tuduhan paling mendetail, termasuk Google menggunakan kekuatannya untuk menyabotase "lelang header", sebuah praktik yang memungkinkan pengiklan untuk mengarahkan satu permintaan melalui beberapa bursa sekaligus.
Selain Texas, delapan negara bagian lainnya juga ikut bergabung dalam gugatan tersebut, termasuk Arkansas, Idaho, Indiana, Kentucky, Mississippi, Missouri, Dakota Utara, Dakota Selatan, dan Utah.
Saat ini, kantor Jaksa Agung Texas telah menyewa firma hukum swasta khusus untuk menangani kasus Google tersebut.
Tanggapan Google
Lebih lanjut, pihak Google pun angkat bicara soal gugatan yang dilayangkan oleh Texas dan kawan-kawan. "Klaim Jaksa Agung Paxton tidak berdasar, namun dia tetap bersikeras maju," kata juru bicara Google.
“Kami telah berinvestasi dalam teknologi layanan iklan tercanggih yang membantu bisnis, dan menguntungkan konsumen."
"Harga iklan digital terus turun selama dekade terakhir. Biaya teknologi iklan juga turun. Biaya teknologi iklan Google lebih rendah daripada rata-rata industri. Inilah ciri-ciri industri yang kompetitif," ujar juru bicara Google.
Advertisement
Komisi Eropa Minta Google Transparan soal Hoaks
Terkait berita Google lainnya, Wakil Presiden Komisi Eropa, Vera Jourova, meminta Google agar lebih transparan tentang cara perusahaan menangani penyebaran berita palsu atau hoaks.
Penyebaran disinformasi di internet memicu kekhawatiran di seluruh dunia. Pemerintah dan regulator berusaha mengatasi masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan Pemilu, iklan politik, dan pandemi Covid-19.
"Saya menyerukan untuk menghadirkan berbagai tool untuk membuat periklanan lebih bertanggung jawab dan transparan, serta untuk bekerja dengan ekosistem yang lebih luas," ujar Jourova dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (8/12/2020).
(Ysl/Isk)