NetApp: Risiko dan Manfaat di Balik Fenomena Cloud Rush

Disamping pesatnya perkembangan perusahan merambah cloud, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan.

oleh Arief Rahman H diperbarui 20 Mei 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2021, 08:00 WIB
Logo NetApp
Logo NetApp. (dok: NetApp)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi pandemi Covid-19 mendorong berbagai sektor perusahaan untuk berpindah secara mendadak ke cloud. Fenomena ini bisa disebut sebagai cloud rush.

Mulai dari penyesuaian kemampuan TI perusahaan untuk menunjang kerja jarak jauh, hingga proses digital menyeluruh untuk keperluan pengadaan, penjualan, layanan, dan seterusnya.

Menanggapi hal ini, Country Manager NetApp Indonesia, Ana Sopia, mengajak pelaku bisnis untuk melihat risiko dan manfaat dari adanya fenomena cloud rush ini.

“Mengingat ekonomi Indonesia yang masih rentan, para pelaku bisnis dihimbau agar terus memperhatikan solusi terbaik bagi efektivitas finansial perusahaannya,” katanya dalam keterangan yang diterima Tekno Liputan6.com, Rabu (19/5/2021).

"Sementara itu, teknologi cloud dapat dengan cepat membantu perusahaan dalam mengatasi tantangan, perubahan pola kerja serta biaya-biaya tak terduga secara lebih efisien ketika mereka mengadopsi cloud untuk jangka panjang."

 

Cloud Sprawl

Perusahaan dapat mengandalkan penyedia cloud untuk melakukan outsource pemeliharaan pusat data sambil memanfaatkan kemampuan bawaan seperti ketersediaan tinggi, skalabilitas, dan infrastruktur yang aman.

Dengan kemudahan yang ditawarkan, kinerja cloud dibangun untuk akses jarak jauh dan beroperasi dengan model bayar sesuai dengan penggunaan secara fleksibel.

Namun, risikonya dengan membiarkan begitu saja pemakaian dan model seperti itu akan menghasilkan tagihan yang lebih tinggi dari perkiraan.

Setelah memindahkan berbagai aktivitas ke cloud, perusahaan kini mengalami kesulitan dalam memantau dan mengelola konsumsi di berbagai penerapan cloud mereka.

“Inilah yang kami sebut cloud sprawl atau perkembangan penggunaan cloud yang tidak terkendali. Masalah ini mengakibatkan 30 persen dari pembelanjaan cloud terbuang secara percuma,” tulisnya.

Guna menghindari pemborosan, diperlukan alat pengoptimalan biaya bernama cloud agnostic. Alat ini berperan memberikan visibilitas terperinci dan real-time di seluruh infrastruktur IT hybrid.

“Ini dipandang penting untuk mengatur dan memulihkan situasi yang dapat menaikkan biaya,” katanya.

 

 

Adopsi Cloud

Banyak perusahaan yang mempercepat adopsi cloud selama lockdown dengan menggunakan pendekatan “lift-and-shift”. Ini adalah mekanisme di mana beban kerja di tempat direplikasi sepenuhnya di cloud dan ini merupakan metode tercepat untuk memastikan layanan bisnis tetap tersedia untuk tenaga kerja dan pengguna eksternal yang secara spontan terdistribusi.

Dalam penerapannya NetApp mampu mengadaptasinya, contohnya pengelolaan file yang dipindahkan ke cloud publik AWS milik Monash University Australia.

“NetApp memfasilitasi kolaborasi data untuk mahasiswa dan peneliti, sekaligus memungkinkan Monash mengurangi pengeluaran modal dan meningkatkan atau menurunkan kapasitas penyimpanan cloud sesuai kebutuhan,” tuturnya.

Sayangnya, perpindahan aktivitas ke cloud bukan tanpa kendala. Perusahaan dapat menghadapi berbagai kendala kompatibilitas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya